Belajar Blog, Ilmu dan Pengalaman

Sabtu, 12 Maret 2016

pengaruh pendidikan berbasis spiritual terhadap perilaku anak di rumah,serta siswa di sekolah

PENDAHULUAN
Ada kekhawatiran yang menyeruak, ketika menyaksikan tawuran antar pelajar terjadi dimana-mana, serta ada kegundahan yang timbul ketika melihat para siswa berteriak girang ketika tahu bahwa gurunya tidak datang pada hari ini.
Mengapa khawatir? Realitas pertama menunjukkan bahwa para pelajar saat ini begitu dekat dengan kekerasan, yang nyata-nyata sangat bertolak belakang dengan dunia mereka yang seharusnya bergelimang dengan nuansa pendidikan dan keilmuan. Seharusnya dunia yang terlahir dari “Rahim kasih sayang” tersebut dibesarkan dengan naluri kasih sayang, sebagaimana naluri kasih sayang seorang ibu dalam mengasuh dan mendidik anaknya.
Mengapa gundah? Realitas kedua menyiratkan akan redupnya kasih sayang dalam interaksi antara para guru dengan siswa-siswanya. Kerenggangan hubungan terasa sangat kental saat para guru lebih suka menghukum daripada tersenyum, lebih suka menghardik daripada bersikap empatik. Sehingga pertemuan antara keduanya selalu dalam keadaan terpaksa, yang akhirnya keterpaksaan tersebut melahirkan rasa terbebani untuk menjalani pertemuan tersebut.
A. Latar Belakang
Dengan adanya temuan seperti yang tersebut diatas, maka dirasa sangat perlu sekali untuk mengangkat topik ini dalam penulisan artikel kami, karena saat ini hal seperti yang tersebut diatas sudah sering sekali terjadi di sekeliling kita, terutama di kalangan para insan pendidik yang setiap hari kerap menemui seperti apa yang tersebut di atas walaupun dalam skala kecil. Semua hal yang menjadi besar itu pasti dimulai oleh hal-hal kecil yang sepele, atau disepelekan.
Tingkah laku kekerasan yang dilakukan siswa, sering sekali diinspirasi oleh tontonan yang tersuguh di hadapan mereka. Seperti film-film kekerasan yang didominasi oleh berandalan-berandalan dan anak-anak yang kurang kasih sayang orang tua.
Kesenjangan hubungan antara guru dan siswanya, sering kali dipicu oleh keinginan para guru untuk selalu dituruti dan dipatuhi segala ucap dan perintahnya, tanpa berusaha memahami tentang faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi jiwa para siswanya untuk tergugah menjadi anak yang penurut dan patuh.
B. Rumusan Masalah
Dengan berlandaskan pada latar belakang masalah diatas, kami mencoba merumuskan tentang betapa besarnya akibat yang akan terjadi jika kedua masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut, atau malah dicarikan alasan pembenar dalam pembiaran terhadap kasus tersebut. Belakangan ini sering sekali terjadi aksi saling tuding dan saling lempar tanggung jawab atas kasus yang terjadi seperti yang tersebut diatas antara peran orang tua di rumah dan peran guru di sekolah.
Jika masalah-masalah diatas tetap terjadi diantara lingkungan dunia pendidikan, maka dapat dipastikan hal tersebut akan menodai kesucian institusi pendidikan di tanah air, karena dianggap tidak mampu memberikan penyadaran-penyadaran tentang betapa pentingnya arti kasih sayang dan akhlak mulia diantara sesama. Serta hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan, terutama kepada para insan pendidik yang berdedikasi didalamnya sejak dari PAUD sampai Perguruan Tinggi, karena dianggap institusi tersebut hanya melahirkan para sarjana yang tahunya hanya menghukum dengan cara yang sangat tidak bijak sekali. Dengan rumusan diatas, maka akan kita dapati sebuah pertanyaan “Apa pengaruh pendidikan berbasis spiritual terhadap perilaku anak di rumah,serta siswa di sekolah?”.
C. Tujuan penulisan
Dalam penulisan artike ini, kami bertujuan untuk berbagi sedikit solusi, sekaligus sebagai wahana introspeksi diri bagi kami dalam menjalankan aktivitas sebagai tenaga pendidik di Lembaga Pendikan masing-masing, agar senantiasa kami tidak terjerumus pada tindakan yang selalu mencari alasan-alasan pembenar atas semua kekurangan kami dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mendidik anak didik kami masing-masing, supaya nantinya menjadi seseorang yang berdaya guna optimal, yang disertai budi pekerti, dan didasari oleh keteguhan iman dan takwa.
PEMBAHASAN
Sungguh ironis sekali, jika tempat “suci” seperti sekolah yang seharusnya menunjukkan suatu citra kasih sayang dan kelembutan, kini tidak lagi menggambarkan sebagai tempat mencetak para cerdik pandai penentu masa depan bangsa, karena tercoreng oleh tindakan segelintir siswanya yang menyukai tindak kekerasan baik antar siswa di sekolah yang sama, ataupun dengan siswa di sekolah lain, walaupun masih sangat banyak sekali sekolah-sekolah yang masih sangat elok dipandang mata dalam aspek kondusifitas lingkungan sekolah dan perilaku siswanya.
Dalam hal ini, peran para orang tua dan guru sama-sama besarnya dalam ikut menentukan kematangan mental dan sikap mereka dalam kebaikan, agar siswa-siswa tersebut terhindar dari memiliki sifat yang bengal, bandel, dan beringas. Dalam hal ini para orang tua dan guru tidak boleh saling melempar tanggung jawab, karena kapan pun dan dimana pun mereka tetaplah berstatus anak bagi para orang tua, dan siswa bagi para guru.
Dalam hal ini, kebanyakan para orang tua dan guru sudah terjebak dalam asumsi bahwa tanggung jawab orang tua menjadi lepas ketika anaknya sudah ada di sekolah, serta para guru bahwa mereka lepas dari tanggung jawabnya ketika para siswa sudah pulang ke rumah masing-masing, dan sudah melepas seragam identitas sekolahnya. Sehingga jika terjadi perilaku menyimpang dari anak-anak ini maka yang sering sekali kita temui adalah kedua pihak ini malah saling tuding, dan saling lempar tanggung jawab daripada duduk bersama untuk menemukan solusi guna keluar dari masalah ini, serta melakukan tindakan antisipatif agar penyimpangan tersebut tidak terjadi lagi baik pada anak yang sama atau pada anak yang lain.
Sebenarnya, semua itu dipicu oleh lepasnya kontrol dari orang tua dan guru dalam memberikan pelajaran dan pendidikan. Mereka mengesampingkan pendidikan berbasis spiritual ( Spiritual Teaching ), sehingga apa-apa yang telah diajarkan baik oleh keluarga di rumah, dan guru di sekolah kurang meresap ke dalam jiwa anak-anak tersebut. Oleh karena itu melalui penulisan artikel ini, kami ingin mencoba untuk berbagi kiat yang Insyallah akan mengantarkan para pembaca untuk menjadi orang tua dan guru yang dicintai, dikagumi, dirindukan kehadirannya, dan diteladani oleh anak-anak di rumah, serta para siswa di sekolah. Belakangan ini sudah sama-sama kita ketahui, bahwa peran orang tua di rumah tidak lebih hanya sebagai sosok penyedia makanan dan tempat berteduh di rumah beserta beberapa fasilitas penunjangnya, begitu pun guru di sekolah yang perannya tak lebih dari hanya sekedar penyampai materi pelajaran dan sebagai penulis nilai di buku raport siswanya, karena banyak kasus kita jumpai seorang siswa yang berprestasi dalam bidang akademik, sedangkan dalam aspek mental dan perilakunya dia Nol besar.
Dalam menyikapi kasus kenakalan anak ini, ada beberapa kiat yang harus disiapkan dan dirasa sangat perlu sekali untuk dilakukan oleh para orang tua dan guru dalam mengantisipasi munculnya kasus-kasus seperti yang tersebut diatas, atau minimal mencegah menularnya kenakalan-kenakalan tersebut kepada anak-anak yang lain, beberapa kiat tersebut antara lain, yaitu:
1. Keteladanan Mulia.
Keteladanan mulia ini sangat efektif dalam menanamkan budi pekerti baik kepada orang lain, karena orang yang menjadi obyek tidak merasa digurui, melainkan merasa disugesti untuk berbudi pekerti baik pula ketika melihat orang tua dan guru serta orang-orang yang ada di sekelilingnya berperilaku dengan budi pekerti yang baik. Untuk memberikan keteladanan mulia ini, para orang tua dan guru diperlukan adanya persiapan mental diri mereka sendiri untuk selalu mewaspadai gejolak emosi agar tidak menjadi sosok yang mengerikan bagi anak dan para siswa, selalu menjadi sosok pemaaf -tapi bukan sosok lemah yang selalu memberikan kemakluman pada setiap tindak ke nakalan anak dan para siswa, selalu bisa menekan berkembangnya “naluri hewani” pada anak dan para siswa, tidak otoriter dan tidak terlalu demokratis -yang mana sikap otoriter atau terlalu demokratis ini bisa berakibat fatal jika diterapkan dalam jangka waktu panjang, selalu bertawakkallah.
Keteladanan mulia ini akan melahirkan ucapan serta tindakan-tindakan yang penuh dengan kasih sayang, serta jauh dari perilaku menghukum dan menghakimi, sehingga orang yang menjadi obyek dengan suka rela mendekat, patuh dan menurut kepada orang tua dan guru, karena anak-anak dan para siswa tersebut merasa “aman” jika berada di dekat mereka, dan selalu rindu pada nasehat-nasehat mereka.
2. Melembutkan Hati.
Kelembutan hati ini memang sangat penting, sehingga banyak sekali orang berupaya untuk menggapainya, diantaranya dengan menekuni Riyadah-riyadah yang dipercaya bisa mem-bawa kelembutan hati bagi pelakunya baik berupa do’a-do’a ataupun mengikuti pengajian Menejemen Qolbu, atau beberapa produk “pelembut hati” lainnya. Sebagai langkah awal para orang tua dan guru perlu memiliki tekad untuk memproklamirkan didalam hatinya untuk selalu menjadi yang terbaik bagi anak-anak dan para siswa. Proklamasikan bahwa anda para orang tua dan guru sangat mencintai mereka, proklamasikan bahwa anda para orang tua dan guru hadir demi mereka, proklamasikan bahwa anda para orang tua dan guru adalah sahabat terbaik bagi mereka, proklamasikan bahwa anda para orang tua dan guru adalah teman sejati yang selalu ada untuk mereka.
Dengan adanya “proklamasi kasih sayang” tersebut, maka itu akan menjadi suplemen penambah tenaga bagi para orang tua dan guru, untuk selalu sigap, dan siap sedia dalam kondisi apapun untuk selalu hadir membawa kasih sayang dengan sepenuh hati, dalam ikut memberikan solusi atas segala permasalahan yang dialami anak-anak dan para siswa. Dan kelembutan hati akan selalu memancarkan aura positif, sehingga siapapun akan tahu bahwa anda para orang tua dan guru bukanlah orang-orang yang “berbahaya” jika berada di dekat mereka.
3. Menyemai Benih Kasih Sayang.
Setelah para orang tua dan guru melaksanakan kiat-kiat seperti di atas, serta selalu menata hati agar senantiasa selalu lembut, maka langkah berikutnya adalah menyemaikan benih-benih kasih dan sayang dalam bentuk pengaplikasian melalui tingkah laku ketika berinteraksi dengan anak di rumah, serta para siswa di sekolah. Mendidik dengan berlandaskan pada perasaan cinta kasih akan berefek pada semakin meningkatnya rasa kepercayaan anak kepada orang tua, serta para siswa kepada guru terutama kepercayaan masyarakat terhadap sekolah.
Benih-benih kasih sayang yang telah disemai hendaknya dipupuk, agar senantiasa benih-benih kasih sayang itu bertunas subur, sehingga dapat menghasilkan kuntum-kuntum bunga cinta yang siap mengharumkan suasana taman kehidupan para orang tua dan guru. Adapun yang menjadi pemupuk benih-benih kasih sayang itu,dapat diformulasikan dari bahan-bahan,antara lain membangun citra bahwa rumah yang mereka tempati adalah sebaik-baik tempat bernaung di muka bumi ini,serta membangun citra sekolah bahwa inilah sebaik-baik tempat yang mampu mengantar mereka menuju kesuksesan lahir batin. Juga menerapkan kiat-kiat sederhana dalam berinteraksi dengan cara mempermudah prosedur-prosedur berinteraksi. Juga mengistimewakan setiap anak yang ada di sekelilingnya dengan cara memperlakukan mereka seperti orang yang dipentingkan kehadirannya diantara para orang tua dan guru. Juga curahkan perhatian dengan mengapresiasi setiap prestasi yang dicapai oleh anak-anak dan para siswa dengan memberi hadiah. Juga biasakan membantu setiap kesulitan mereka sebatas bantuan tersebut tidak membuat mereka menjadi manja. Juga biasakan mengobral pujian di setiap akhir dalam proses mengerjakan sesuatu. Juga biasakan menanggapi setiap obrolan mereka walaupun sebenarnya obrolan tersebut adalah hal yang remeh dalam ukuran pemikiran orang dewasa. Juga biasakan memberikan sentuhan fisik di tempat yang sekiranya pantas disentuh ketika sedang berkomunikasi. Dan yang tak kalah pentingnya adalah menghadirkan mereka dalam setiap do’a para orang tua dan guru.
Dengan begitu, para orang tua dan guru telah melakukan dua kebaikan sekaligus. Yaitu para guru dan orang tua telah mendo’akan mereka, serta dalam kesempatan itu juga mereka telah memberikan “pendidikan hati” kepada mereka, agar pertalian kasih sayang yang terjalin diantara anak dan orang tua serta diantara siswa dan guru, senantisa mendapat ridho dan limpahan rahmat dari Allah Subhanahu Wata’ala.
4. Istiqamah.
Dalam langkah terakhir ini, para orang tua dan guru seyogyanya selalu menjalankan apa-apa yang sudah dibangun dari awal itu dengan konsistensi yang tinggi, sehingga apa-apa yang sudah dibangun dengan langkah-langkah yang penuh dengan perjuangan tersebut tidak mengalami kemunduran dan akhirnya harus musnah ditelan masa. Dengan kontinyu semangatnya harus selalu diperbaharui agar pasang surutnya keadaan tidak berdampak buruk pada hasil perjuangannya.
Untuk selalu istiqamah,para orang tua dan guru harus selalu meneguhkan niat suci untuk selalu mengabdi kepada Allah, dengan selalu menunaikan amanah yang berupa kepercayaan untuk ikut serta menjaga sebuah generasi, agar senantiasa generasi tersebut menjadi Pemimpin di muka bumi yang dapat membawa kemaslahatan kepada lingkungan,dengan disertai akhlakul karimah,yang dilandasi oleh keteguhan iman dan takwa. Sehingga nantinya dapat menjadikan lingkungan yang mereka tempati sebagai Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghafur.
PENUTUP
Ada banyak istilah yang dapat digunakan untuk membahasakan sifat dan karakter orang tua dan guru yang ideal, diantaranya yaitu lembut, tangguh, dan brilian. Kelembutan adalah cerminan dari cinta dan kasih sayang. Ketangguhan adalah cerminan dari kesungguhan tekad yang didasari oleh keteguhan iman dan takwa. Sedangkan kebrilianan adalah cerminan dari kretivitas, profesionalisme, dan progresifitas.
Apabila ketiganya digabung dengan kata “tetap dan selalu”, maka kesemuanya akan menggambarkan sifat Istiqamah, yang akan melahirkan harmoni dan totalitas yang menakjubkan. Sehingga dengan begitu akan dengan sendirinya mengantarkan para orang tua dan guru ke puncak prestasi dalam mendidik. Anak-anak dan para siswa dengan suka rela dan penuh rasa percaya akan menjadi sosok yang patuh dan penurut, karena mereka telah banyak menyerap spirit yang telah ditransfer oleh para orang tua dan guru ke dalam hati mereka. Karena pendidikan berbasis spiritual adalah satu bentuk pendidikan yang ditransformasikan dari hati ke hati. Dengan melaksanakan pendidikan berbasis spiritual tersebut nantinya akan menjadikan para orang tua dan guru sebagai sosok yang selalu dinantikan kehadirannya,dan selalu dirindukan nasehat-nasehatnya.
KESIMPULAN
Pada bagian akhir penutup penulisan artikel ini, penyusun merasa perlu untuk menyimpulkan bahwa pendidikan berbasis spritual ini sangatlah penting untuk diterapkan dalam segala aspek pendidikan baik pendidikan di rumah,di sekolah ataupun ditengah-tengah masyarakat pada umumnya. Tetapi jangan lupa, sebelum menerapkan pendidikan berbasis spiritual haruslah dipersiapkan, agar senantiasa hatinya selalu penuh dengan semangat untuk melakukanyang terbaik,agar nantinya tidak mengalami kekeringan spiritual. Karena pendidikan berbasis spiritual ini merupakan salah satu bentuk pendidikan yang ditransformasikan dari hati ke hati, sehingga tidak akan pernah terdengar lagi komentar “Ibuku gak oke banget” dari anak tentang orang tuanya, serta teriakan “Merdeka...” sebagai apresiasi kebebasan dari siswa yang tahu bahwa guru pada hari itu tidak hadir di sekolah.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Label

Blog Archive