Belajar Blog, Ilmu dan Pengalaman

Selasa, 01 Maret 2016

Larangan Mencela menurut persifektif Hadits Tarbawi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara historis dan teologis, akhlak dapat memadu perjalanan hidup manusia agar selamat di dunia dan akhirat. Tidakkah berlebihan bila misi utama kerasulan Muhammad SAW. adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sejarah pun mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima, hingga hal ini dinyatakan oleh Allah dalam Al-Qur’an.

Akhlak seseorang menentukan baik tidaknya seorang tersebut dalam masyarakat, mencela merupakan ahklak yang tidak baik yang dilarang oleh agama islam karena dapat membuat orang lain tersakiti. Dalam makalah ini akan membahas tentang larangan mencela menurut islam.

B. Rumusan Masalah

Dalam masalah ini, hal-hal yang akan dibahas meliputi ;

Apa yang dimaksud dengan mencela ?
Apa sajakah bentuk larangan mencela dalam islam ?

C. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui pengertian mencela.
Untuk mengetahui bentuk larangan mencela.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Syukhriyah atau Mencela

Menurut bahasa سخر berarti“ mengejek, mencemoohkan, menghina”. Pengertian dalam Islam tentang penghinaan itu memiliki pengertian yang berbeda-beda. Untuk itu kita harus mengidentifikasikan dahulu kata penghinaan dengan lafadz arabnya, sedangkan hal-hal yang tercakup dalam arti penghinaan itu lafadnya berbeda beda. Penghinaan itu berasal dari kata “hina” yang artinya:

1. Merendahkan, memandang rendah atau hina dan tidak penting terhadap orang lain.

2. Menjelekkan atau memburukkan nama baik orang lain, menyinggung perasaannya dengan cara memaki-maki atau menistakan seperti dalam tulisan surat kabar yang dipandang mengandung unsur menghina terhadap orang lain.

Ayat- ayat yang berhubungan dengan Sukhriyah atau pelecehan atau penghinaan.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ١١

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan

janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Hujurat: 11).

Asbab an-Nuzul.

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan delegasi dari Bani Tamin sewaktu mereka mengejek orang-orang muslim yang miskin, seperti. Ammar Ibnu Yasir dan Suhaib Ar-Rumi.

Penafsiran ayat.

M. Hasbi Ask Shiddiqy

Janganlah suatu golongan menghina segolongan yang lain, baik dengan membeberkan keaiban golongan-golongan itu dengan cara mengejek atau dengan cara menghina, baik dengan perkataan ataupun dengan isyarat atau dengan mentertawakan orang yang dihina itu bila timbul sesuatu kesalahan.

Karena boleh jadi orang yang dihinakan itu lebih baik di sisi Allah dari pada orang yang menghinanya. Jangan pula segolongan wanita menghina dan mengejek golongan wanita yang lain, karena kerap kali golongan yang dihina itu lebih baik disisi Allah

B. Larangan Syukhriyah dalam Islam

Sabda Rasulullah SAW

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا وَائِلٍ يُحَدِّثُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ تَابَعَهُ غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ

Artinya : Sulaiman menyampaikan kepada kami Dari Syu’bah, dari Manshur yang berkata, aku mendengar dari Abu Wa’i, dari Abdullah bahwa Rasulullah SAW bersabda, Memaki orang Muslim adalah sebuah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran Hal ini diperkuat juga oleh riwayat Ghundar dari Syu'bah. [HR. Bukhari No.5584].

Dalam riwayat lain di sebutkan:

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ الْحُسَيْنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ يَعْمَرَ أَنَّ أَبَا الْأَسْوَدِ الدِّيلِيَّ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالْفُسُوقِ وَلَا يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ

Artinya: Tidaklah seseorang melempar tuduhan kepada orang lain dgn kefasikan, & tak pula menuduh dgn kekufuran melainkan (tuduhan itu) akan kembali kepadanya, jika saudaranya tak seperti itu. [HR. Bukhari No.5585].

Penjelasan Hadits.

Makna dari kata sibaab, secara zhahir mungkin bermakna tafaa’ul (terjadi dari dua belah pihak) dan mungkin juga bermakna sabb yang bermakna celaan, yaitu menisbatkan seseorang kepada aib (cacat dan cela). Berdasarkan versi pertama(perbuatan yang timbul dari kedua belah pihak) maka siapa yang memulai melakukan hal itu, dia yang menanggung dosanya.

Secara etimologi, فُسُوقٌ berarti Al khuuruj (keluar), secara terminologi berati keluar dari taat kepada Allah dan Rasulnya. Kata “fasik” dalam Syariat lebih tinggi tingkatannya dari pada maksiat. Dalam hadist ini menunjukkan penghormatan hak seorang muslim. Apabila seseorang memakinya tanpa bukti, maka hukumannya adalah kefasikan.

وَقِتَالُهُ كُفْر Dan membunuhnya adalah kekufuran. Pemakaian kata kufur di atas bukan berarti kufur yang sebenarnya, yaitu keluar dari agama, tetapi hanya sebagai peringatan akan perbuatan tersebut.

Allah SWT berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا ٤٨

Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (Qs. An-Nisaa:48).

Dalil-Dalil Dari Al-Kitab Dan Sunnah Tentang Namimah

هَمَّازٖ مَّشَّآءِۢ بِنَمِيمٖ ١١

yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. (QS. Al-Qalam:11)

وَيۡلٞ لِّكُلِّ هُمَزَةٖ لُّمَزَةٍ ١

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. (QS. Al-Humazah:1)

وَٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ بِغَيۡرِ مَا ٱكۡتَسَبُواْ فَقَدِ ٱحۡتَمَلُواْ بُهۡتَٰنٗا وَإِثۡمٗا مُّبِينٗا ٥٨

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al ahzab:58)

وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «اثْنَتَان في النَّاسِ هُمَا بِهِم كُفْرٌ: الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى المَيِّتِ». رواه مسلم

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada dua perkara yang terdapat pada manusia, yang keduanya adalah kekufuran bagi mereka, yaitu penghinaan nasab dan meratapi mayat.” (HR Muslim)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ ١٢

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat:12)

إن من أكبر الكبائر أن يلعن الرجل والديه، قيل يا رسول الله كيف يلعن الرجل والديه؟ قال : يسب الرجل أبا الرجل فيسب أباه، ويسب أمه فيسب امه (رواه البخاري واحمد)

Artinya: sesungguhnya sebagian dari dosa-dosa besar ialah orang laki-laki melaknat kedua orang tuanya. Rasulullah ditanya: bagaimana bisa orang laki-laki melaknat orang tuanya? Beliau bersabda: orang itu menghina bapaknya orang lain, kemudian dia membalas menghina bapaknya dan menghina ibunya dia juga menghinaibunya. (HR. Bukhari dan Ahmad)

Al-Kitab Dan Sunnah Bahwa Orang Yang Mencela Allah,Rasul-Nya atau Agama-Nya Wajib Dibunuh.

وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ إِن نَّعۡفُ عَن طَآئِفَةٖ مِّنكُمۡ نُعَذِّبۡ طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ مُجۡرِمِينَ ٦٦

Artinya. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja. Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok ?.

Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa (at-Taubah:65 - 66).

Hadits yang berkaitan dengan turunnya ayat dari at-Taubah di atas yaitu: Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, dan Qatadah, dengan rangkuman sebagai berikut:

Bahwasanya pada waktu perang Tabuk, ada seseorang yang berkata:

Kami belum pernah melihat (orang-orang) semacam para ahli menba-ca al-Qur'an kita ini, (orang-orang) yang lebih rakus terhadap makanan, lebih dusta lesannya dan lebih pengecut dalam peperangan, maksudnya: Rasulullah dan para sahabat yang ahli membaca al-Qur'an. Maka berkatalah 'Auf bin Malik kepadanya: "Kamu telah berdusta, bahkan kamu adalah Munafiq. Sesungguhnya aku akan laporkan kepada Rasulullah. Lalu pergilah Auf kepada Rasulullah untuk memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Tetapi dia mendapati al-Qur'an telah mendahuluinya (turun kepada Nabi). Ketika orang itu datang kepada Rasulullah beliau telah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya. Dia berkata kepada Rasulullah: "Ya Rasulullah! Sebenarnya kami hanyalah bersenda garau sebagaimana obrolan orang-orang yang pergi jauh sebagai pengisi waktu saja dalam perjalanan kami." Ibnu Umar berkata: "Sepertinya aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasullah sedang kedua kakinya tersandung-sandung batu sambil berkata: "Sebenarnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Lalu Rasulullah bersabda kepadanya: Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu berolok-olok?". Beliau mengucapkan itu tanpa menengok dan tidak berbicara kepadanya lebih dari itu

Bentuk-bentuk Syukhriyah

Menurut sebagian `ulama diantaranya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwa istihza' terbagi menjadi dua:

a. Istihza' Yang Nampak

Seperti yang dilakukan oleh orang yang mengatakan: "Belum pernah kami melihat seperti para ahli membaca al-Qur'an kita ini, orang yang lebih rakus terhadap makanan, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar di atas. Dan juga perkataan orang-orang yang mengejek dan menghina penegak amar ma'ruf nahi mungkar.

Misalnya pengejekkan terhadap orang orang yang sedang melaksanakan shalat atau orang yang memanjangkan jenggot mereka, dan yang semisalnya adalah kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.

b. Istihza Yang Tidak Nampak (Tidak Langsung).

Seperti mengejek dengan isyarat main atau mengeluarknan lidah, mencibirkan bibir, atau dengan isyarat tangan terhadap orang-orang yang sedang membaca al-Qur'an atau Hadits-hadits Rasulullah atau terhadap orang-orang yang sedang melakukan amar ma'ruf nahi mungkar

Apakah Diterima Taubat Dari Orang Yang Mencela Allah Dan Rasul-Nya?

Berkata Syaikh Utsaimin:

Para ulama berselisih, apakah orang yang mencela Allah dan Rasul-Nya

atau kitab-Nya diterima taubatnya. Dalam masalah ini ada dua pendapat:

a. Tidak diterima taubatnya, (ini adalah pendapat yang masyhur dikalangan Hambali) tetapi dia (si pencela tersebut) dibunuh dalam keadaan kafir. Dia tidak dishalatkan, tidak pula dido'akan rahmat baginya. Dia dikubur di tempat yang jauh dari pekuburan kaum Muslimin, walaupun dia mengatakan bahwa dia sudah taubat atau mengaku bersalah. Sebab menurut madzhab Hambali, kemurtadannya tersebut merupakan perkara yang besar sehingga taubatnya tidak bermanfaat.

b. Sebagian ulama berpendapat bahwa taubatnya diterima jika diketahui bahwa ia sungguh-sungguh jujur bertaubat kepada Allah, dan mengaku bahwa dirinya telah bersalah. Karena dalil-dalil umum menunjukkan diterimanya taubat, seperti firman Allah,

قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ ٥٣

Artinya. Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (az-Zumar: 53)

Pendapat yang kedua ini adalah benar, hanya saja orang yang mencela Rasulullah diterima taubatnya namun tetap wajib dibunuh. Hal ini berbeda dengan orang yang mencela Allah yang diterima taubatnya dan tidak dibunuh. Bukan berarti karena hak Allah berada di bawah hak Rasul bahkan karena Allah mengkabarkan kepada kita bahwa Allah akan memaafkan hamba-Nya yang bertaubat karena Allah Maha mengampuni seluruh dosa.

Adapun orang yang mencela Rasul, maka terkait dengan dua perkara:

1) Perkara syari'at, karena (yang dicela) adalah seorang Rasul Allah dan untuk perkara ini dia diterima taubatnya jika dia bertaubat.

2) Perkara pribadi sebagai manusia, karena Rasulullah adalah termasuk bani Adam. Dan untuk perkara ini dia wajib dibunuh karena hak Rasulullah (sebagai orang manusia). Dan dia dibunuh setelah taubatnya dalam keadaan Muslim. Jika dia telah dibunuh, maka kita memandikanya, mengkafaninya, menyalatkannya, dan menguburkanya. Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Larangan Duduk Dengan Orang-Orang Yang Beristihza’

Wajib bagi kita, untuk meninggalkan para pencela yang sedang mengejek dan memperolok-olokan syari'at Allah dan RasulNya, meskipun mereka adalah keluarga terdekat kita. Kita tidak bermajlis dengan mereka sehingga tidak termasuk golongan mereka.

وَقَدۡ نَزَّلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أَنۡ إِذَا سَمِعۡتُمۡ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ يُكۡفَرُ بِهَا وَيُسۡتَهۡزَأُ بِهَا فَلَا تَقۡعُدُواْ مَعَهُمۡ حَتَّىٰ يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيۡرِهِۦٓ إِنَّكُمۡ إِذٗا مِّثۡلُهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ جَامِعُ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡكَٰفِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا ١٤٠

Artinya. Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), Maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam (an-Nisaa': 140).

Seseorang yang mendengar ayat-ayat Allah sedang dihina dan diperolok-olokkan oleh sekelompok orang, namun dia duduk-duduk dan ridha dengan mereka, maka dia sama dengan mereka, balk dosa maupun kekafiran.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari Hadist yang sudah dijabarkan diatas dapat kita simpulkan bahwa perilaku mencela merupakan sifat madzmumah, dan sebagai orang yang beriman hendaklah kita menjauhinya .Karena sifat yang tidak baik pasti akan menimbulkan sesuatu yang tidak baik pula, baik untuk diri kita maupun orang lain dan juga mencela atau beris tihza' terhadap Allah, Rasul-Nya atau syari'at-Nya tidaklah berlaku umum bagi setiap orang yang melakukan istihza' atau pencelaan. Karena masalah pengkafiran adalah masalah yang sangat besar. Jika kita mendengar ada seseorang yang telah melakukan istihza' atau pencelaan, hendaklah kita menasehati dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang dilakukannya itu adalah hal yang sangat berbahaya. Atau dengan kata lain kita terlebih dahulu menegakkan hujjah kepadanya. Jangan sampai kita sembarang mengkafirkan saudara kita.

B. SARAN

Semoga dengan disusunnya makalah ini, dapat menambah pengetahuan kita tentang larangan atau hukum mencela. Kita dapat mengetahui bahwa mencela dapat membahayakan diri kita sendiri.

Kami menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu, kami mengharap saran yang konstruktif dari teman-teman sekalian serta para pembaca terutama dosen pengampu demi perbaikan makalah kami dimasa selanjutnya.

DAFTAR RUJUKAN

Al Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari juz 29. Makhtabah Shamela

Mustafa Ahmad Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Jilid XXVI. Semarang: CV. Toha Putra, 1989

M. Hasbi Ask Shiddiqy dalam Tafsir Al-Qur’anul Ma’id jilid V

Shohih Bukhari juz 2. Makhtabah Shamela

Hadits Tarbawi, Surabaya: Pena Salsabila
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Label

Blog Archive