Belajar Blog, Ilmu dan Pengalaman

Rabu, 16 Maret 2016

Konsep Belajar Mengajar Menurut Imam Al-Ghazali dalam Konteks Kajian Psikologi Belajar

A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan aktivitas vital dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia melalui transfer ilmu pengetahuan, keahlian dan nilai-nilai kehidupan guna membekali anak didik menuju kedewasaan dan kematangan pribadinya.
Kegiatan belajar dan mengajar adalah tema sentral yang menjadi inti pelaksanaan pendidikan, karena kegiatan ini merupakan aktifitas riil yang di dalamnya terjadi interaksi antara pendidik dan anak didik. Banyak ahli pendidikan Islam yag telah memberikan perhatian serius dalam mengkaji aktivitas belajar mengajar, antara lain Al-Ghazali yang sebagian pemikirannya akan dituangkan dalam konteks belajar mengajar menurut perspektif Imam Al-Ghazali.
B. Sketsa Biografis Imam Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, lahir pada tahun 450 H/1058 M, di Thus, Khurasan, Iran, yang ketika itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. Latar belakang pendidikannya dimulai dengan belajar al-Qur’an pada ayahnya sendiri, kemudian ia belajar pada Ahmad bin Muhammad al-Razikani seorang sufi besar di Thus.
Kemudian ia melanjutkan di Naisapur, di sana ia berguru dan belajar pada imam al-Haramayn al-Juawaini. Karena kecerdasan dan kemampuannya, imam al-Ghazali diberi gelar “bahr al-muqhirq” (bahtera yang menghanyutkan).
Pada tahun 1091, al-Ghazali diangkat menjadi guru besar pada madrasah Nizamiyah. Tepatnya pada usia 34 tahun, ia diangkat menjadi pimpinan lembaga pendidikan tersebut. Setelah empat tahun menjabat, al-Ghazali meninggalkan Baghdad dan memulai pengembaran sufistiknya, menyendiri dan melakukan meditasi serta menikmati kedekatan dengan Tuhannya.
Pada tahun 499 H/1106 M, ia kembali ke Naisabur mengajar di madrasah Nizamiyah, yang pada akhirnya ia kembali ke Thus, beribadah dan mengajar al-Qur’an dan al-Hadits hingga akhir hayatnya.
C. Konsep Belajar Menurut Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali menyatakan bahwa wajib hukumnya belajar (menuntut ilmu). Kewajiban menuntut ilmu ini ia kutip dari sabda Rasulullah SAW yang menyatakan, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina sekalipun.
Adapun tujuan belajar menurut al-Ghazali sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah. Al-Ghazali tidak membenarkan belajar dengan tujuan duniawi. Sebagaimana al-Ghazali menyatakan: “Hasil dari ilmu pengetahuan sesungguhnya adalah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan sekalian alam, dan menghubungkan diri dengan malaikat yang tinggi dan berkumpul dengan alam arwah. Semua itu adalah keagungan dan penghormatan secara naluriyah”.
Bertolak dari pemikiran tersebut tujuan belajar dapat diklasifikasi kepada tiga, yaitu:
1. Tujuan pempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah.
2. Tujuan utama belajar adalah pembentukan akhlak karimah.
3. Tujuan belajar mengantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
Dalam belajar dan pembelajaran, al-Ghazali mengajarkan bahwa belajar adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran yang bertahap, dimana proses pembelajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah menjadi manusia sempurna.
Berdasarkan pernyataan di atas, ada beberapa hal yang menjadi perhatian al-Ghazali, yaitu:
1. Belajar dan pembelajaran adalah proses memanusiakan manusia.
2. Waktu belajar adalah seumur hidup. Dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia.
3. Belajar adalah sebuah pengalihan ilmu pengetahuan.
Berkaitan dengan pernyataan di atas Reber dan Wilke, tokoh psikologi kognitif menyatakan, “Learning is a relatively permanent change in respons potentiality which occurs as a result of enforced pratice”. (Belajar sebagai suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat). Sedangkan menurut Winkle belajar adalah suatu proses mental yang mengarah pada suatu penguasaan pengetahuan, kecakapan, kebiasaan atau sikap yang semuanya diperoleh, disimpan dan dilaksanakan sehingga menimbulkan tingkah laku yang progresif dan adaptif.
Adapun proses belajar seseorang harus memperhatikan perkembangan psikologis anak, dalam hal ini al-Ghazali mengemukan tentang proses perkembangan psikologis anak, yang terdiri dari beberapa tahapan diantaranya sebagai berikut:
a. Al-Janin, yaitu tingkat perkembangan anak ketika berada dalam kandungan dan setelah ditiupkan roh pada umur empat bulan.
b. Al-Thifl, yaitu tingkatan anak yang bisa dicapai dengan memperbanyak latihan dan kebiasaan sehingga mengetahui aktifitas dan perilaku yang baik dan buruk.
c. Al-Tamyis, yaitu tingkatan anak yang dapat membedakan sesuatu yang baik dan buruk, bahkan lebih jauh dari itu, akalnya telah dapat menangkap dan memahami ilmu dharuri.
d. Al-Aqil, yaitu tingkatan yang dicapai seseorang yang sempurna akalnya bahkan telah berkembang akalnya sehingga dapat menguasai ilmu dharuri.
e. Al-Awliya dan al-Anbiya’, yaitu tingkatan tertinggi dari perkembangan manusia.
Al-Ghazali memandang bahwa sistem otak sebagai suatu hal yang terpenting dalam perkembangan belajar anak, oleh karenanya ia memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan pikiran anak dengan lima perkembangan dia atas.
D. Konsep Mengajar Menurut Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali berpandangan “idealistik” terhadap profesi guru. Idealisasi guru, menurutnya adalah orang yang berilmu, beramal dan mengajar. Dari sini al-Ghazali menekankan keterpaduan ilmu dan amal. Berangkat dari perspektif inilah, al-Ghazali menandaskan bahwa orang sibuk mengajar merupakan orang yang bergelut dengan sesuatu yang amat penting, sehingga ia perlu menjaga etika dan kode etik profesinya. Lebih lanjut al-Ghazali berpandangan bahwa konsep mengajar sebagai berikut:
1. Memelihara anak dari perbuatan tercela.
2. Membimbingnya agar menjadi anak yang shaleh.
3. Menjauhkan anak dari pergaulan yang jelek.
4. Mengajarkan cara yang benar dalam mencari rezki.
5. Mengajar anak agar tidak sombong.
6. Mengajarkan al-Qur’an.
7. Memberikan kesempatan untuk bermain dan berolahraga untuk menggembangkan penalaran.
Berkaiatan dengan mengajar, al-Ghazali membahas kedudukan dan fungsi guru sebagai pengajar. Ia memandang guru sebagai berikut:
A. Guru sebagai pengajar sekaligus pembimbing.
Al-Ghazali menegaskan bahwa guru berfungsi sebagai penuntun dan pembimbing bagi anak didik. Al-Ghazali menganjurkan agar guru mengajar membimbing dengan penuh kasih sayang sebagaimana ia mengajar dan mendidik anaknya sendiri. “Didilah muridmu dan perlakukanlah mereka seperti anakmu sendiri”, pesan al-Ghazali pada para guru. Bahkan al-Ghazali mengutip sabda Rasulullah; “Ssesungguhnya aku ini bagimu adalah seumpama seorang ayah bagi anaknya. (HR. Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibn majah, Ibn Hibban dari Abu Hurairah).
Menurutnya pengajar (guru) adalah orang yang berusaha membimbing, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan khaliqnya. Fungsi ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk yang mulia. Kemuliaan manusia terletak pada kesucian hatinya. Untuk itu pengajar dalam perspektif Islam melaksanakan proses pendidikan hendaknya diarahkan pada aspek tazkiyah al-nafs.
B. Al-Ghazali menyatakan, mengajar adalah pekerjaan dan tugas yang mulia.
Berkaitan dengan hal ini, al-Ghazali menyatakan: “Maka seorang yang alim mau mengamalkan apa yang telah diketahuinya, maka yang dinamakan seorang yang besar di semua kerajaan langit, dia seperti matahari yang menerangi alam-alam yang lain”.
Bahkan al-Ghazali memberikan dalil aqli terhadap kemuliaan guru yaitu dengan menyatakan bahwa seorang guru lebih mulia daripada pandai emas karena seorang mengolah, membimbing manusia yang merupakan makhluk termulia di sisi Allah, sehingga pekerjaan guru lebih baik dan lebih mulia daripada pekerjaan apapun.
C. Dalam mengajar guru harus memberikan teladan bagi murid.
Sebagai seorang yang mengajar, membimbing dan mengarahkan, guru harus menjadi teladan dan contoh bagi murid-muridnya. Untuk ini, seorang guru menjaga kewibawaan di hadapan murid-muridnya. Ia harus dapat menghiasi dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji, sehingga akan terpancar dari dirinya cahaya kemuliaan.
Jadi, seorang guru dituntut memiliki sifat-sifat keteladanan yang menjadi keutamaan bagi kepribadiannya. Adapun sifat-sifat tersebut adalah:
1. Sabar dalam menanggapi pertanyaan peserta didik.
2. Senantiasa bersifat kasih, tanpa pilih kasih.
3. Duduk dengan sopan, tidak riya’, dan pamer.
4. Tidak takabbur, kepada orang-orang yang dzalim dengan maksud mencegah tindakannya.
5. Bersikap tawadlu’ dalam setiap pertemuan ilmiah.
6. Sikap dan pembicaraan hendaknya tertuju pada topik persoalan.
7. Memiliki sifat bersahabat terhadap semua peserta didiknya.
8. Menyantuni dan tidak membentak orang-orang bodoh.
9. Membimbing dan mendidik peserta didik yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya.
10. Menampilkan hujjah yang benar.
D. Guru harus memotivasi muridnya.
Sebagai seorang yang mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya, maka seorang guru harus dapat membangkitkan semangat belajar anak, terutama sekali bagaimana anak dapat mempelajari ilmu pengetahuan yang sedang dipelajari gurunya. Di sinilah terletak tanggung jawab guru, yaitu ia dapat menularkan ilmunya kepada muridnya sekaligus bertanggung jawab terhadap keberhasilan belajar murid. Tentang tanggung jawab ini al-Ghazali menyatakan ”Seorang guru harus bertanggung jawab pada pelajaran yang diajarinya dan membuka jalan yang seluas-luasnya untuk mempelajari bidang studi lain”.
Sebagai motivator itulah, seorang guru harus membangkitkan semangat murid dalam belajar, yang menurut motivasi menunjuk kepada semua gejala yang terkandung dalam stimulasi ke arah tujuan dimana sebelumnya tidak gerakan ke arah tujuan tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa guru harus memotivasi murid-muridnya agar dapat berhasil dalam kegiatan belajarnya.
E. DAFTAR RUJUKAN
H.M.Muchlis Sholichin, Psikologi Belajar Aplikasi Teori Belajar dalm pembelajaran. Surabaya: Pena Salsabila, 2013. Hlm, 263
Siswanto, Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam. Surabaya: Pena Salsabila, 2015. Hlm, 98
H. Mohammad Muchlis Solichin (ed), Memotret Guru Ideal-Profesional. Surabaya: Pena Salsabila, 2013. Hlm, 35
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Label

Blog Archive