Belajar Blog, Ilmu dan Pengalaman

Sabtu, 27 Februari 2016

TRADISI TER-ATER DI DUSUN DUKO BARAT DESA PAKONG KECAMATAN PAKONG SEBUAH KAJIAN TENTANG SARANA UKHUWAH ISLAMIYAH

TRADISI TER-ATER DI DUSUN DUKO BARAT DESA PAKONG KECAMATAN PAKONG SEBUAH KAJIAN TENTANG SARANA UKHUWAH ISLAMIYAH

Secara budaya, orang dianggap kurang lengkap tradisi keberagamaannya jika tidak pernah mengeluarkan sebagian hartanya. Pemahaman yang lebih luas disebut zakat, shadaqah, infaq dan hadiah. Dalam konteks lokal Madura, pada wilayah tertentu, menjadi ‘kewajiban’ yang kemudian masyhur dikenal Ter-ater.

Seiring dengan meningkatnya semangat beragama di kalangan masyarakat khususnya di Dusun Duko Barat Desa Pakong, meningkat pula tradisi Ter-ater yang bermotif agama. Baik itu berupa kunjungan ke sanak famili, teman dan kolega, bahkan terhadap tokoh agama sekalipun (kiai). Fenomena itu menjadi tren baru di kalangan kelas menengah yang ingin menegaskan identitas keberagamaannya. Tulisan berikut hendak mengurai tentang hubungan Ter-ater dari sisi agama, budaya.

Masyarakat Madura khususnya masyarakat Dusun Duko Barat Desa Pakong Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan menjadi fokus kajian penelitian ini, mayoritas masyarakat Dusun Duko Barat Desa Pakong memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap tradisi lokal seperti Ter-ater. Penelitian ini akan memfokuskan pada kajian tradisi lokal Madura, terutama pada tradisi Ter-ater dengan menajamkan persoalannya pada: tradisi Ter-ater dalam tinjauan agama dan budaya.

Metode Penelitian

Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan jalan wawancara mendalam. Lokasi penelitian ini yaitu Dusun Duko Barat Desa Pakong Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan.

Dipilihnya daerah ini didasari oleh suatu realitas bahwa: pertama, diwilayah ini tradisi-tradisi lokal sebagaimana dalam fokus kajian ini masih menunjukkan eksistensinya, sekalipun banyak mengalami sedikit perubahan. Kedua, sisi lain masyarakat di Dusun ini begitu kentalnya meyakini tradisi sebagaimana dalam fokus penelitian ini, sehingga dalam anggapan mereka, jika tidak melaksanakan tradisi tersebut (Ter-ater) merasa punya hutang dan kurang lengkap dalam keberagamaannya. Ketiga, sebagai alasan subjektif adalah karena keterbatasan peneliti dan demi efektifnya penelitian ini, sehingga fokus penelitian ini dibatasi pada Dusun Duko Barat Desa Pakong Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan.

Tradisi Ter-ater Dalam Tinjauan Agama dan Budaya

Ter-ater diartikan sebagai pemberian atau hadiah yang diantarkan kerumah penerima yang biasanya berupa makanan. Ter-ater sendiri adalah bagian dari tradisi masyarakat Madura terutama di pedalaman dan grass root yang paling banyak ditemui ketika ada hajatan, selametan, hari raya keagamaan, tasyakuran, dan lain sebaginya. Kegiatan Ter-ater ini diaplikasikan dengan menghantarkan barang (terutama makanan) pada sanak keluarga atau tetangga yang ada di sekitar. Namun tidak jarang tradisi ini juga dilakukan dan ditujukan pada sanak saudara yang jauh. Ter-ater merupakan bagian dari budaya lokal yang membuat banyak orang menyimpulkan bahwa masyarakat Madura adalah masyarakat yang ramah, dermawan, komunikatif, baik hati, dan memiliki solidaritas yang tinggi pada sesama. Dalam pribahasa Madura satendhak sapeccak (secara harfiah berarti selangkah dan sekaki) pribahasa tersebut dimaksudkan untuk menyatakan kedekatan dan kejauhan ukurannya nisbi dalam ikatan kekeluargaan. Jarak antara diri seseorang dengan sepupu (satendhak) dan saudara kandung (sapeccak) hampir tidak ada bedanya. Keduanya sama-sama dekat sekaligus sama-sama jauh. Bukan pula aba’ saaba’ (hanya dirinya sendiri) sehingga ia akan bersikap odi’ kadhibi’ (bersikap individualistis) yang berimplikasi pada sikap tidak perlu memikirkan orang lain. Orang yang seperti itu, bagi masyarakat Madura dikatakan martabhat oreng elanyo’ ba’a (seperti harga diri seseorang yang terhanyut banjir), sebab ia akan mencari keselamatan dan alur hidupnya secara mandiri.

Dalam konteks agama, manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial (homo socius) senantiasa membutuhkan bantuan dan pertolongan orang lain. Dengan Ukhuwah Islamiyah inilah, kehidupan dalam bermasyarakat senantiasa harmonis dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya serta mampu memperkuat persatuan dan kesatuan dalam hidup beragama, berbangsa dan bernegara. Ukhuwah Islamiyah menjadi lebih aktual bila dihubungkan dengan masalah solidaritas sosial, karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Sebagaimana Q.S. Ali-Imran: 103

(#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $Yè‹ÏJy_ Ÿwur (#qè%§xÿs? 4

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.

$pkš‰r'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu‘$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& y‰YÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

“Ukhuwah” berasal dari kata dasar “akhu” yang berarti saudara, teman, sahabat. Kata “Ukhuwah” sebagai kata jadian dan mempunyai pengertian atau menjadi kata abstrak persaudaraan, persahabatan dan dapat pula berarti pergaulan. Sedangkan “Islamiyah” berasal dari kata “Islam” yang dalam hal ini memberi/ menjadi sifat dari “Ukhuwah”, sehingga menjadi persaudaraan Islam atau pergaulan secara norma Islam. Jadi pengertian Ukhuwah Islamiyah adalah gambaran tentang hubungan antara orang-orang Islam sebagai satu ikatan persaudaraan.

Atas dasar inilah, masyarakat Madura berikhtiar dalam rangka internalisasi nilai-nilai ajaran al-Quran yaitu menjalin ukhuwah Islamiyah, membangun persatuan dan mempererat tali silaturrahmi dalam format lokal yang disebut Ter-ater. Karena bagimanapun, makna dan kandungan filosofi dari Ter-ater tersebut adalah cerminan bahwa masyarakat Madura adalah masyarakat yang ramah, dermawan, komunikatif, baik hati, dan memiliki solidaritas yang tinggi pada sesama.

Dari sudut pandang budaya, orang Madura dianggap kurang lengkap tradisi keberagamaannya jika tidak pernah megeluarkan sebagian hartanya. Pemahaman yang lebih luas disebut zakat, shadaqah, infaq dan hadiah. Dalam konteks lokal Madura, pada wilayah tertentu, menjadi kewajiban yang kemudian masyhur dikenal Ter-ater.

Masyarakat yang masih menjalankan tradisi asli Madura ini, akhir-akhir ini sudah mulai berkurang dan mulai pudar. Meskipun ada, tetapi nuansanya sudah jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya, tradisi Madura yang memiliki nilai positif dan mengandung nilai-nilai luhur budaya Madura, bukan hanya tradisi Ter-ater rebba sebagaimana pada setiap malam Jumat, dan hari-hari baik dalam pandangan agama Islam, tetapi juga banyak tradisi lain yang saat ini sudah jarang dilakukan. Tradisi Ter-ater yang sudah mengakar pada masyarakat perlu dilestarikan jika itu baik, namun demikian juga perlu dicarikan sebuah metode atau format baru dengan Ter-ater barang produktif sehingga tetap eksis dan sesuai dengan perkembangan zaman. Sebagaimana kaidah “Al-muhafadah ‘ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al ashlah”.

Terdapat beberapa momentum Ter-ater di Dusun Duko Barat Desa Pakong Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan, Yaitu pada bulan Muharram diartikan haram, bulan haram dalam perperang (sorah), Tradisi Ter-ater di bulan sorah ini, di lakukan oleh penduduk Desa dengan membawa sejenis makanan siap saji yaitu bubur (tajin pote) kepada sanak famili, kerabat dan tetangga. Bulan berikutnya yaitu bulan Shafar diartikan dengan perjalanan musim para kabilah berdagang keluar daerah (sappar) Tradisi Ter-ater di bulan sappar ini, di lakukan oleh penduduk Dusun Duko Barat Desa Pakong dengan membawa sejenis makanan siap saji yaitu sejenis bubur juga, namun lebih dikenal dengan istilah tajin polor.

Pada bulan sya’ban (rebba), diartikan berpencar-pencar mencari mata air menyongsong bulan suci ramadhan. Tradisi Ter-ater pada bulan rebba di Pusatkan di Masjid, yang mana seluruh anggota keluarga berangkat ke Masjid dengan makanan siap saji, begitu juga Kiai atau Nyai dan beberapa tokoh masyarakat (orang kaya) sebagai tokoh kharismatik seringkali menjadi penyokong atas eksistensi tradisi lokal tersebut,.

Pada bulan ramadhan (pasa’an), diartikan sebagai bulan diturunkannya ayat-ayat suci al-Qur’an. Pada bulan ramadhan ini, Ter-ater dapat di jumpai pada tanggal 21 dan 25 ramadhan (salekoran dan sakheme’an) dengan membawa aneka jajanan/kue, (Sarapeh) nasi (Plotan).

Ini berbeda dengan kenyataan orang Islam di Madura, memang secara syar’iyyah 1 syawal tidak wajib hukumnya, tetapi secara kultural bahwa orang Madura merayakannya dengan meriah dan gegap gempita dimeriahkan dengan tradisi Ter-ater makanan yang siap saji, seperti nasi putih berserta lauk-pauk, daging ayam, kambing atau sapi, lengkap dengan kue dengan berbagai macam jenisnya. Pada hari raya ini sebagian besar masyarakat Madura yang ada di perantauan bersiap-siap pulang kampung. Di hari-hari H-5 itu lalu lintas sangat padat, ada yang mengendarai motor, mobil pribadi maupun angkutan massal seperti bis, yang kemudian dikenal dengan sebutan “mudik”.

Dalam perayaan tellasan mereka juga menggunakan baju, kopiah, sarung dan sandal yang baru. Dengan pakaian yang serba baru ini, secara fisik menjadi simbol bahwa tellasan momentum yang sangat membahagiakan dan penuh kegembiraan. Perayaan ini tidak berhenti disini, masyarakat juga merayakannya dengan pesta makanan, diikuti dengan menggelar tradisi Ter-ater dengan menghantarkan barang (terutama makanan) pada sanak keluarga atau tetangga yang ada di sekitar, dijinjing dalam bentuk wadah besar/ yang berisi makanan siap saji, daging ayam dan daging sapi. Bahkan pada bulan syawal ini merupakan momentum akbar dalam perayaan keagamaan (idul fitri), sehingga momentum Ter-ater mengikuti kemeriahan dan kebesaraan perayaan keagamaannya pula.

Kesimpulan

Tradisi Ter-ater di Madura merupakan bagian dari proses internalisasi nilai-nilai ajaran Islam (ukhuwah Islamiyah) yang dengan al-Quran sebagai landasan normatif Islam memberikan dorongan untuk senantiasa melakukan tolong-menolong terhadap sesama, memiliki kepedulian terhadap sesama, karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial (homo socius) senantiasa membutuhkan bantuan dan pertolongan orang lain.
Share:

Popular Posts

Label