Belajar Blog, Ilmu dan Pengalaman

Senin, 05 Desember 2016

Aliran Progresivisme Dalam Prespektif Filsafat Pendidikan

BAB I

PENDAHULUAN
A.       Latar Bekalang Masalah
Filsafat pendidikan adalah filsafat yang diterapkan dalam dunia pendidikan. Hal ini mengandung pengertian bahwa filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari kerja filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan dan nilai.
Dalam filsafat terdapat berbagai aliran,  seperti aliran progesivisme. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat memiliki berbagai macam aliran, maka dalam filsafat pendidikan akan kita temukan juga berbagai macam aliran. Adapun aliran progresivisme dalam filsafat pendidikan akan kita bahas pada makalah ini.
Dari perkembangan pemikiran para filosof yang berbeda dalam menanggapi segala sesuatu, maka muncullah berbagai macam karakteristik pemikiran-pemikiran yang kemudian menjadi sebuah ciri khas dari seorang filosof sebagai hasil pemikiran tertinggi. Sejarah mencatat bahwa dalam pertumbuhan dan perkembangan filsafat terdapat berbagai macam perbedaan yang jelas dari masing-masing tokoh filsafat.
Begitu pula halnya dengan filsafat pendidikan, bahwa dalam sejarahnya telah melahirkan berbagai pandangan atau aliran. Dimana sebuah pemikiran manusia tidak akan pernah final ketika memikirkan sesuatu yang masih mungkin bisa dipikirkan. Oleh sebab itu, dunia filsafat pendidikan pun mempunyai berbagai pandangan ataupun aliran yang berbeda.
Dalam pandangannya progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal, menyela. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.  
Oleh sebab itu akan dikaji lebih jauh bagaimana dasar konsep progressivisme yang terus berkembang, yang mana hasil tersebut akan menjadi bahan acuan pembaharuan-pembaharuan pendidikan dalam setiap bidangnya.


  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana Pengertian dan Sejarah Lahirnya Filsafat Pendidikan Progresivisme?
  2. Apa Landasan Filosofis Filsafat Pendidikan Progresivisme?
  3. Bagaimana Pandangan Filsafat Pendidikan Progresivisme Terhadap Pendidikan?
  1. Tujuan
  1. Untuk mengetahui Pengertian dan Sejarah Lahirnya Filsafat Pendidikan Progresivisme.
  2. Untuk mengetahui Landasan Filosofis Filsafat Pendidikan Progresivisme.
  3. Untuk mengetahui Pandangan Filsafat Pendidikan Progresivisme Terhadap Pendidikan.




BAB II
PEMBAHASAN
  1. Progresivisme Dalam Pengertian dan Sejarah.
1.    Pengertian Filsafat Pendidikan Progresivisme
Progresivisme secara bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang menginginkan kemajuan-kemajuan secara cepat. Dalam konteks filsafat pendidikan, progresivisme merupakan suatu aliran yang menekankan bahwa pendidikan bukanlah sekedar upaya pemberian sekumpulan pengetahuan kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi ragam aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampuan berpikir mereka secara menyeluruh, sehingga mereka dapat berpikir secara sistematis melalui cara-cara ilmiah seperti penyediaan ragam data empiris dan informasi teoritis, memberikan analisis, pertimbangan, dan pembuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling memungkinkan untuk pemecahan masalah yang tengah dihadapi.
Dengan pemilikan kemampuan berpikir yang baik, subjek-subjek didik akan terampil membuat keputusan-keputusan terbaik pula untuk dirinya dan masyarakatnya serta dengan mudah pula dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.[1]
Menurut Redja Mudyaharjo, Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan disekolah berpusat pada anak (child centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang berpusat pada guru (teacher-centered) atau bahan pelajaran (subject-centered).[2]
Para progresivis berkeyakinan, bahwa manusia secara alamiah memiliki kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan atau mengatasi berbagai problem kehidupannya menuju suatu perkembangan yang lebih baik, yang mengarah pada suatu progres.
2.    Sejarah Lahirnya Filsafat Pendidikan Progresivisme.
Secara historis, progresivisme ini telah muncul pada abad ke-19, namun perkembangannya secara pesat baru terlihat pada awal abad ke-20, terutama di negara Amerika Serikat. Bahkan pemikiran yang dikembangkan aliran ini pun sesungguhnya memiliki benang merah yang secara tegas dapat dilihat sejak zaman Yunani kuno.
Lahirnya filsafat pendidikan progresivisme, merupakan protes terhadap kebijakan-kebijakan pendidikan konvensional yang bersifat formalis tradisionalis yang telah diwariskan oleh filsafat abad ke-19 yang dianggapnya kurang kondusif dalam melahirkan manusia-manusia yang sejati.[3]
Dalam kesejarahannya, filsafat progressivisme bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan  oleh  William  James  (1842-1910), dan  John  Dewey  (1859-1952),  yang  menitikberatkan  pada  segi  manfaat  bagi  hidup  praktis.  Dan  dalam  banyak  hal  progressivisme  identik  dengan pragmatisme.  Oleh  karena  itu  apabila  orang  menyebut  pragmatisme, maka berarti sama dengan progressivisme. Filsafat Progressivisme tidak mengakui kemutlakan kehidupan, menolak  absolutisme  dan  otoriterisme  dalam  segala  bentuknya,  nilai-nilai  yang  dianut  bersifat  dinamis  dan  selalu  mengalami  perubahan, sebagaimana  dikembangkan  oleh  Immanuel  Kant,  salah  seorang penyumbang  pemikir  pragmatisme-progressivisme  yang  meletakkan dasar  dengan  penghormatan  yang  bebas  atas  martabat  manusia  dan martabat  pribadi. Sehingga  filsafat  ini  menjunjung  tinggi  hak  asasi individu dan menjunjung tinggi nilai demoktratis.
Oleh karena itu, filsafat progressivisme ini dianggap sebagai the liberal  road  of  the  culture  (kebebasan  mutlak  menuju  ke  arah kebudayaan),  maksudnya  nilai-nilai  yang  dianut  bersifat  fleksibel terhadap perubahan, toleran dan terbuka (open minded), dan menuntut pribadi-pribadi penganutnya untuk selalu bersikap menjelajah, meneliti, guna  mengembangkan  pengalamannya.  Mereka  harus  memiliki  sikap terbuka dan berkemauan  baik sambil  mendengarkan kritik dan  ide-ide lawan sambil memberi kesempatan kepada mereka untuk membuktikan argumen tersebut.[4]
Tokoh Progresivisme Thomas Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan pada Progresivisme karena kepercayaan mereka pada demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis, terutama dalam agama. Charles S. Peirce mengemukakan teori tentang pikiran dan hal berfikir & rdquo; pikiran itu hanya berguna bagi manusia apabila pikiran itu bekerja yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya & rdquo;. Fungsi berfikir adalah membiasakan manusia untuk berbuat perasaan dan gerak jasmaniah adalah manifestasi dari aktifitas manusia dan keduanya itu tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berfikir.[5]
  1. Landasan Filosofis Filsafat Pendidikan Progresivisme.
Dasar filosofis dari aliran progresivisme adalah Realisme Spiritualistik dan Humanisme Baru. Realisme spiritualistik berkeyakinan bahwa gerakan pendidikan progresif bersumber dari prinsip-prinsip spiritualistik dan kreatif dari Froebel dan Montessori serta ilmu baru tentang perkembangan anak. Sedangkan Humanisme Baru menekankan pada penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai individu. Dengan demikian orientasinya individualistik.
Progresivisme beranggapan bahwa kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh manusia tidak lain adalah karena kemampuan manusia dalam mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan berdasarkan tata logis dan sisematisasi berpikir ilmiah. Oleh karena itu, tugas pendidikan adalah melatih kemampuan-kemampuan subjek didiknya dalam memecahkan berbagai masalah kehidupan yang mengarah pada pengembangan ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupannya dalam masyarakat. Aliran ini memandang, bahwa yang riil adalah segala sesuatu yang dapat dialami dan dipraktikkan dalam kehidupan nyata.[6]
  1. Pandangan Filsafat Pendidikan Progresivisme Terhadap Pendidikan
Pendidikan  dalam  aliran Progressivisme  ini  muncul sebagai oposisi  atas  pendidikan  model  tradisional di Amerika Serikat, sekitar tahun 1800-an. Kebangkitan  ini  dipicu  oleh  adanya anggapan  dari  masyarakat  terutama  para pendidik  bahwa  sekolah  gagal  untuk menjaga  langkah  dari  zaman  dengan perubahan  hidup  yang  terjadi  dalam masyarakat  Amerika  itu  sendiri.  bahwa  Progressivisme  muncul untuk mereformasi  metode-metode  pendidikan tradisional. Para  pendidik progressivisme berpikiran bahwa para guru haruslah dibayar lebih banyak agar mereka lebih  banyak juga memberikan  perhatian kepada  murid-murid  secara  individu  dan menghilangkan  pandangan  atau  pendapat bahwa  semua  murid  itu  memiliki kemampuan  yang  sama.
Berdasarkan pada pandangan ini pula, maka aliran ini berpendapat bahwa pendidikan mestilah dimaknai sebagai sebuah proses yang berlandaskan pada asas pragmatis. Dengan asas ini, pendidikan bertujuan untuk memberikan pengalaman empiris kepada anak didik sehingga terbentuk pribadi yang selalu belajar dan berbuat.[7]
Oleh karena itu, sekolah  yang  ideal menurut alirannya  adalah  sekolah yang  mengaksentuasikan isi pendidikannya pada persoalan-persoalan yang terdapat di lingkungan masyarakat, serta dapat  memberi  jaminan  kepada  para siswanya  selama  ia  belajar.  Maksudnya adalah bahwa sekolah harus mampu untuk membantu  dan  menolong  siswanya  untuk bertumbuh dan berkembang serta memberi keleluasaan  tempat  untuk  para  murid untuk  mengembangkan  minat  dan bakatnya  melalui   bimbingan  para  guru.[8]
BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
a)      Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan disekolah berpusat pada anak (child centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang berpusat pada guru (teacher-centered) atau bahan pelajaran (subject-centered).
b)      Lahirnya filsafat pendidikan progresivisme, merupakan protes terhadap kebijakan-kebijakan pendidikan konvensional yang bersifat formalis tradisionalis yang telah diwariskan oleh filsafat abad ke-19 yang dianggapnya kurang kondusif dalam melahirkan manusia-manusia yang sejati.
c)      Dasar filosofis dari aliran progresivisme adalah Realisme Spiritualistik dan Humanisme Baru. Realisme spiritualistik berkeyakinan bahwa gerakan pendidikan progresif bersumber dari prinsip-prinsip spiritualistik dan kreatif dari Froebel dan Montessori serta ilmu baru tentang perkembangan anak. Sedangkan Humanisme Baru menekankan pada penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai individu. Dengan demikian orientasinya individualistik.
d)     bahwa pendidikan mestilah dimaknai sebagai sebuah proses yang berlandaskan pada asas pragmatis. Dengan asas ini, pendidikan bertujuan untuk memberikan pengalaman empiris kepada anak didik sehingga terbentuk pribadi yang selalu belajar dan berbuat.


DAFTAR RUJUKAN

Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Bandung: PT Refika Aditama, 2011,
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
http://journal.uniera.ac.id/pdf_repository/juniera53-5i7a8ujE-4a5FZerUL4qzKqK.pdf Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013, Di akses (18-09-2016: 11.18)







[1] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Bandung: PT Refika Aditama, 2011, Hlm. 151
[2] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, Hlm. 142
[3] Ibid, Hlm. 152
[6] Ibid, Hlm. 154
[7] Ibid, Hlm. 156
[8] http://journal.uniera.ac.id/pdf_repository/juniera53-5i7a8ujE-4a-5FZerUL4qzKqK.pdf Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013, Di akses (18-09-2016: 11.18)


Share:

Spiritualisasi Pendidikan Agama Islam Menuju Keberagamaan Inklusif Pluralistik

SPIRITUALISASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM: PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG GAGASAN
A.    Pengertian Spiritualisasi Pendidikan Agama Islam 
 Spiritualisasi berasal dari kata “spiritual” yang berarti “kejiwaan, rohani, batin, mental, moral”. Lorens Bagus menyatakan bahwa istilah spiritual memliki beberapa pengertian, yaitu:
                              1.            Immaterial, tidak jasmani, terdiri dari roh
                              2.            Mengacu ke kemampuan-kemampuan lebih tinggi
                              3.            Mengacu ke nilai-nilai manusiawi yang non material
                              4.            Mengacu ke perasaan dan emosi-emosi religious dan estetik.
Terkait dengan konsep pendidikan Islam, kita mendapati, “polemik” istilah antara kata tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Untuk itu, istilah-istilah tersebut penting dijelaskan.
Al-Tarbiyah merupakan masdar dari kata rabba yang berarti mengasuh, mendidik, dan memelihara. Fakhr al-Din al-Razy memaknai rabbayaniy sebagai bentuk pendidikan dalam arti luas, yakni tidak hanya menyangkut pendidikan yang bersifat ucapan (dominan kognitif), tetapi menunjuk pada makna pendidikan tingkah laku (dominan afektif). Sementara Sayyid Qutb menafsirkan kata tarbiyah dengan upaya pemeliharaan jasmaniah peserta didik dan membantu menumbuhkan kematangan sikap mental sebagai pancaran akhlak karimah pada peserta didik.
Al- Ta’lim merupakan masdar dari kata ‘allama yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan. Abdul Fatah Jalal menyatakan bahwa konsep ta’lim merupakan proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian tanggung jawab dan pemahaman amanah sehingga terjadi proses pensucian (tazkiyah) atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikannya berada dalam kondisi yang memungkinkannya untuk menerima hikmah dan mempelajari segala yang bermanfaat baginya dan yang tidak dia ketahui.
At-Ta’dib merupakan bentuk masdar dari kata addaba  bermakna mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan budi pekerti terdidik. Sehubungan dengan itu, Syed Ahmad Naquib al-Attas menyatakan bahwa penggunaan konsep Ta’dib lebih cocok digunakan dalam diskursus pendidikan Islam, karena pengertian ta’lim hanya tertuju pada proses transfer ilmu dengan tanpa adanya pengenalan-pengenalan lebih mendasar pada perubahan tingkat laku.
Pada sisi lain, sering juga kita dapati pembahasan yang menjumbuhkan dengan tidak sengaja pengertian pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam. Ketika berbicara tentang pendidikan Islam, isinya terbatas pada pendidikan agama Islam atau sebaliknya, padahal, secara subtansial kedua istilah tersebut berbeda.
Pendidikan Islam adalah nama sistem pendidikan yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok muslim yang diidealkan. Sedangkan pendidikan agama Islam merupakan salah satu bagian dari pendidikan Islam. Atas dasar itulah, istilah “pendidikan Islam” dapat dipahami dalam beberapa perspektif, yaitu:
                              1.            Pendidikan menurut Islam, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumbernya yakni Al-Qur’an dan Hadits.
                              2.            Pendidikan keislaman, yakni upaya mendidikan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi pandangan dan sikap hidup seseorang.
                              3.            Pendidikan dalam Islam atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam.
B.     Latar Belakang Spiritualisasi Pendidikan Agama Islam.
Spiritualisasi pendidikan agama Islam dicanangkan dilatari oleh beberapa kenyataan atau fakta sebagai berikut:
                              1.            Dunia pendidikan formal mengalami kegoncangan karena dampak dari pertikaian ideologi dan perspektif pendidikan.
                              2.            Adanya sinyalemen terjadinya kegagalan sistem pendidikan di Indonesia.
                              3.            Lebih jauh, pendidikan di Indonesia hingga saat ini menganut pandangan absolutisme yang menyatakan bahwa silabus merupakan daftar materi yang harus dipelajari oleh peserta didik, disampaikan kepada peserta didik dalam bentuk alih pengetahuan melalui pengajar, dan evaluasinya bersifat reproduksi pengetahuan yang dipelajari.
                              4.            Imbas pendangan absolutisme tersebut pada gilirannya menjalar ke pengajaran pendidikan agama.
                              5.            Harus diakui, pendidikan agama Islam yang dikembangkan sejak dini dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi selama ini masih bersifat verbalistis yang menekankan pada aspek indoktrinasi dan penaman nilai ala kadarnya dari pada penumbuhan daya kritis dan pengembangan intelektualisme siswa.
                              6.            Hingga saat ini, pelaksanaan pendidikan agama yang berlangsung di sekolah masih dianggap kurang berhasil dalam mengarap sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik serta membangun moral dan etika bangsa.
                              7.            Pada sisi lain, menurut pengamatan sementara ahli, bahwa dalam bidang social capital bangsa Indonesia ini sudah mencapai titik low trust society atau masyarakat yang tingkat amanahnya rendah, bahkan hampir mencapai titik zero trust society alias masyarakat yang sulit dipercaya.
Atas dasar itu, penting dilakukan reorientasi, bahkan rekonstruksi terhadap kesalahan-kesalahan pendidikan, lebih-lebih kesalahan dalam pendidikan agama Islam selama ini, yaitu antara lain melalui upaya spiritualisasi pendidikan agama Islam.

BASIS FILOSOFIS SPIRITUALISASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Sukidi Mulyadi menyatakan bahwa sesungguhnya yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan termasuk pendidikan agam Islam di Indonesia adalah teori behaviorisme, ala Barat. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan ouput yang berupa respon. Oleh karena itu, apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan tanggapan yang diberikan oleh pelajar (respon) haruslah dapat diamati dan diukur.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang  pembelajar dalam berperilaku. Pandangan teori behavoristik ini banyak dianut oleh guru dalam merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu, yang kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana dampai kepada yang kompleks. Namun, dari semua teori yang ada, teori BF Skinner-lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori behavioristik.
Teori ini banyak dikritisi karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama.
Pada sisi lain, teori behavioristik ini juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berpikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Dalam aplikasinya pada pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai obyek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, implikasi teori behavioristik dalam proses pembelajaran diaraskan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksprementasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena itu, teori behavoristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dahulu secara ketat.
Lebih jauh, tujuan pembelajaran dalam perspektif teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan belajar sebagai aktivitas mimetic yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang dipelajari dalam bentuk laporan, kuis dan tes sangat ditekankan. Sementara evaluasi pembelajaran lebih menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah dan biasanya menggunakan tes.
Dengan demikian, pembelajaran ala behavioristik sudah sedemikian sangat mengental dalam proses pembelajaran di Indonesia. Dan pembelajaran dengan mainstream behavioristik ini berimbas pula dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam. buktinya adalah sebagai berikut:
                              1.            Pendidikan agama di sekolah-sekolah adalah pendidikan agama yang bersifat ideologis otoriter.
                              2.            Perdebatan masalah-masalah penting dari agama-agama tidak pernah transparan demi mendapatkan titik pertemuan bersama.
                              3.            Pendidikan agama diajarkan secara literer, formalistik sehingga wawasan pluralisme yang menjadi realitas masyarakat kita tidak tampak sekali.
                              4.            Pengajaran agama yang mencoba menumbuhkan kritisisme dan apresisasi atas agamanya sendiri atau agama orang lain bahkan bisa dikategorikan menyesatkan.
                              5.            Konstruksi pendidikan agama adalah konstruksi rezim yang secara kaku telah berhasil dirumuskan oleh rezim otoriter orde baru tersebut.
Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan agama dengan bayan-bayang pengaruh behavioristik tersebut harus didekonstruksi dengan filosofi lain yang lebih manusiawi dan lebih menghargai terdidik sebgaai manusia, sehingga nantinya pendidikan agama yang diberikan dilembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal berwajah lebih manusiawi dan tidak lagi berwajah mekanistik sebagaimana disinyaleminkan oleh Sukidi di atas.
Filosofi yang diusulkan sebagai bentuk koreksi terhadap pola pendidikan agama (Islam) model behavioristik adalah sebagai berikut:
a.       Humanisme Teosentris
Pendidikan agama Islam merupakan upaya normatif yang berfungsi untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia, maka dalam mengkonstruksi teori maupun aplikasi pendidikan agama Islam harus didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam. dari sekian banyak nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits, dapat diklasifikasikan pada dua aspek yaitu nilai dasar (intrinsik) dan nilai instrumental. Nilai yang tergolong intrinsik fundamental dan memiliki posisi ideal tersebut adalah Tauhid (Iman Tauhid).
Lebih jauh, Tauhid merupakan nilai intrinsik, nilai dasar dan tidak akan berubah menjadi nilai instrumental karena kedudukkannya paling tinggi. Seluruh nilai yang lain dalam konteks tauhid menjadi nilai instrumental. Secara terminologis, tauhid berarti pengakuan terhadap keesaan Allah. Sikap tauhid tidak cukup hanya percaya kepada adanya Allah (seperti orang Makkah dahulu), tetapi harus pula mempercayai Allah itu dalam kualitasnya sebagai satu-satunya yang bersifat keilahian atau ketuhanan, dan sama sekali tidak memandang adanya kualitas serupa kepada suatu apapun yang lain.
Secara metafisis dan aksiologis tauhid menduduki posisi tertinggi karena dia ada dengan sendirinya secara mutlak dan transenden, sedangkan eksistensi yang lain tergantung oleh-Nya. Bertitik tolak dari pengertian tersebut, tauhid sudah cukup sebagai landasan bagi seluruh aktivitas kehidupan umat manusia termasuk dalam pendidikan, karena ia merupakan nilai yang paling esensial dan sentral serta seluruh gerak hidup muslim tertuju ke sana. Dengan dasar tauhid sesungguhnya menjadi titik poros sentral juga spiritual dari berbagai nilai dalam pendidikan Islam, sehingga dengan dasar demikian, tampak sekali bahwa basis filosofis pendidikan islam adalah teosentrisme (berpusat kepada Tuhan). Namun perlu disadari, bahwa pemusatan kepada Tuhan tersebut, secara subtansial bukan untuk kepentingan Tuhan, tetapi sepenuhnya untuk kepentingan manusia. Karena itu, pendidikan Islam juga berlandaskan pada humanisme (berpusat pada manusia). Dalam konteks demikian, dapat ditegaskan bahwa basis tumpu filosofis pendidikan agama Islam adalah perpaduan antara teosentrisme dan humanisme atau lzim diidentifikasi sebagai humanisme teosentris.
Karena pendidikan Islam juga berlandaskan humanisme, maka nilai-nilai fundamental yang secara universal dan obyektif merupakan kebutuhan manusia perlu dikemukakan sebagai dasar pendidikan agama Islam, meskipun harus digaris bawahi tebal, bahwa posisinya tetap berada dalam tauhid (teosentris) sebagai dasar nilai.  Implikasikan dalam pendidikan adalah setiap orang memiliki hak dan pelayanan yang sama dalam pendidikan. Oleh karena itu, implementasi humanisme teosentris tersebut dalam praktik kehidupan dan pendidikan dapat fleksibel atau luwes, selama subtansinya tetap terpelihara yaitu, menunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan karena hakikatnya ajaran Islam memang untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan.
b.      Konstruktivisme
Konstruktivisme secara bahasa berasal dari kata to construct yang artinya membangun, membuat, menciptakan, mendirikan, memunculkan dan merancang. Secara istilah, teori konstruktivisme memandang bahwa indivdu belajar dengan cara mengkonstruksi makna melalui interaksi dan dengan menginterprestasi lingkungannya.
Sehubungan dengan konteks pembelajaran, Leo Sutrisno memandang konstruktivisme sebagai berikut:
1)      Tradisi contructivisme memandang belajar sebagai proses aktif seseorang dalam membangun pengetahuan yang bermakna dalam dirinya sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya dengan cara membangun keterkaitan antara pengetahuan yang sedang dihadapi dan pengetahuan yang telah dimiliki.
2)      Dalam tradisi konstruktivisme, silabus tidak lagi merupakan daftar materi yang diterapkan sesuai dengan tujuan pembelajaran, tetapi merupakan yang mungkin terbentuk sebagai hasil penggabungan yang kompleks antara; pengetahuan yang telah ada kepercayaan, keterampilan, pengalaman, tantangan dan peluang.
Adapun karakteristik pembelajaran kontruktivisme adalah:
                              1.            Emphasize problem solving
                              2.            Recognizes that teaching and learning need to accur in multiple contexts
                              3.            Assists students in learning how to monitor their learning so that they can become self regulated learners
                              4.            Anchors teaching in the diverse life contexts of students
                              5.            Encourages students to learn from each other
                              6.            Employ authentic assessment
Dengan demikian, pola konstruktivisme pndidikan agama Islam akan menjadi lebih santun dan inklusif. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan agama Islam sudah waktunya didekonstruksi dengan menggunakan paradigm filosofis konstruktivisme, sehingga pendidikan agama menjadi lebih bermakna pada terdidik.

KONSTRUKSI SPIRITUALISASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Ketidakberdayaan system pendidikan agama di Indonesia sebagai bagian dari system pendidikan nasional kita secara keseluruhannya, tampaknya disebabkan penekananpendidikan agama selama ini pada proses transformasi ilmu agama kepada anak didik, bukan pada proses transformasi nilai-nilai luhur keagamaan. Oleh karena itu, paradigma behavioristik mekanistik tersebut pelu digeser pada paradigma humanisme teosentris konstruktivistik. Dalam bingkai paradigma humanisme teosentrik konstruktivistik inilah spiritualisasi pendidikan agama Islam dapat dikontruksi.
Dalam rangka tercapainya spiritualisasi pendidikan agama Islam dapat diusulkan beberapa noktah pemikiran sebagai berikut:
1)      Sadari bahwa pendidikan agama atau pendidikan religiousitas pada dasarnya merupakan suatu pendidikan untuk menumbuhkembangkan sikap batin siswa agar mampu melihat kebaikan Tuhan dalam diri sendiri, sesama dan dalam lingkungan hidupnya.
2)      Laksanakan proses pembelajaran pendidikan agama Islam dengan rileks dan dengan menggunakan pola dan metode apapun yang dapat mengaktifkan siswa.
3)      Berusaha mewujudkan pengalaman yang autentik, dan bukan dibuat-buat.
4)      Wujudkan proses pembelajaran yang dirancang dengan pola paradigma pedagogik reflektif (PPR) yang lebih mengutamakan siswa untuk menemukan dan memaknai pengalamannya sendiri.
5)      Disamping melaksanakan pola paradigma pedagogik reflektif (PPR), laksanakan pula strategi projet based learning (PBL) sebagai pengimbang.
Dengan pola-pola tersebut di atas siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memperdalam iman sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing dan untuk menanggapi permasalahan di sekitarnya melalui komunikasi iman bersama dengan teman-temannya baik yang satu kepercayaan maupun yang berbeda.
Bila hal demikian ini telah menjadi kebiasaan pengelolaan pembelajaran, maka guru telah mengantarkan siswanya untuk mengetahui bagaimana belajar cara belajar (learning how to learn). Dengan kemampuan itu siswa akan menjadi berdaya dan akan menjadi seorang pembelajar sepanjang hidup.
Pengemabangan pola pembelajaran yang demikian, membutuhkan komitmen total guru dengan selalu:
a.       Aktif mengembangkan bahan pelajaran dan metodenya
b.      Tidak merasa puas atas keyakinan dan hasil yang dicapainya
c.       Kritis tidak hanya ikut-ikutan
d.      Bebas berpikir dan mengembangkan pemikirannya
e.       Mampu berefleksi terhadap apa yang dilakukan dan yang akan dilakukan serta implikasinya pada pembentukan pribadi para siswanya.

IMPLIKASI SPIRITUALISASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A.    Implikasi Spiritualisasi Pendidikan Agama Islam Terhadap Struktur Komposisi Kurikulum PAI
Perubahan pola pendidikan agama Islam dari pola behavioral konvesional menuju pola konstruktivisme humanism teosentris yang mewujudkan spiritualisasi pendidikan agama Islam, pada gilirannya akan melahirkan implikasi besar terhadap struktur komposisi kurikulum pendidikan agama Islam.
Dalam tradisi behavariorisme memandang belajar sebagai perubahan perilaku yang mencerminkan kondisi dari belum tahu ke kondisi sudah tahu, maka materi yang diajarkan harus disusun secara hirarkhis dari yang sederhana ke yang lebih kompleks. Sedangankan dalam tradisi konstruktivisme humanism teosentris, aspek-aspek pendidikan agama Islam disajikan dengan pendekatan integrative interkonektif dan berusaha untuk mengaitkan pembelajaran pendidikan agama Islam dengan konteks dan pengalaman-pengalaman hidup peserta didik yang beraneka ragam atau konteks masalah-masalah serta situasi-situasi riil kehidupannya.
Jika dalam kurikulum konvensional, pendidikan agama Islam di sekolah pada dasarnya berusaha untuk membina sikap dan perilaku keberagamaan siswa dengan titik tekan pada pemahaman tentang agama itu sendiri, maka dalam kurikulum dengan pendekatan konstruktivisme humanistic, diutamakan juga aspek pemahaman dan ptraktik keberagamaan, tetapi lebih mengutamakan aspek being (beragama atau menjalani hidup atas dasar ajaran dan nilai-nilai agama).
Dengan kata lain, pendidikan agama Islam dengan pendekatan konstruktivisme lebih diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar peserta didik tidak hanya berhenti pada tataran kompeten, tetapi sampai memiliki kemauan, dan kebiasaan dalam mewujudkan dan mengamalkan ajaran nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa implikasi spiritualisasi pendidikan agama Islam terhadap struktur komposisi kurikulum PAI adalah bahwa secara material komposisi kurikulum tidak berubah, materinya tetap, namun yang berubah adalah pendekatan dan porsi panyajiannya yang dikaitkan dengan konteks konkret keseharian siswa.
B.     Implikasi Spiritualisasi Pendidikan Agama Islam terhadap Pendidik dan Terdidik.
Spiritualisasi pendidikan agama Islam yang menganut paradigma konstruktivisme humanisme teosentris juga berimplikasi terhadap pendidik dan terdidik. Menurut sistem konstruktivisme humanisme teosentris pendidikan harus berorientasi pada pengenalan diri sendiri dan pembebasan dari budaya pembisuan sehingga dapat mengembangkan dirinya.
Konsekuensi model pendidikan ini, guru bukan sekedar pendidik yang menuangkan ilmu, namun teman dialog siswa yang sedang mencari jati dirinya. Jadi, dengan sistem konstruktivisme humanisme teosentris, guru agama Islam tidak hanya berperan sebagai ustadz saja, tetapi berperan juga sebagai mu’allim, murabby, mursyid, mudarris dan mu’addib sekaligus.
Tidak hanya kepada guru, spiritualisasi pendidikan agama Islam juga berimplikasi pada terdidik. Dengan konstruktivisme humanisme teosentris, siswa dapat belajar dari keslahan, siswa dapat mengasah lima unsur kepribadian manusia yang disebut OCEAN (Opennes, to experience, conscientiousnes, extrertion, agreeableniess, neurotism). Dengan begitu, pada gilirannya siswa diharapkan dapat mengalami perubahan sikap, tingkah laku maupun pola pikir sehingga semakin dewasa dan inklusif dalam menerima keberadaannya sebagai bagian dari masyarakat yang majemuk ini, sehingga terwujud suasana keberagamaan inklusif pluralistik.
Sumber, Edi Susanto, Spiritualisasi Pendidikan Agama Islam Menuju Keberagamaan Inklusif Pluralistik, Surabaya: Pena Salsabila, 2016


Share:

Popular Posts

Label