Belajar Blog, Ilmu dan Pengalaman

Selasa, 12 April 2016

PROPOSAL PENELITIAN

PROPOSAL PENELITIAN
MOHAMMAD RUSDI. Peran Guru Ngaji dalam Membentuk Nilai-nilai Karakter Anak Usia Dini Di Mushalla An-Nashr Dusun Duko Barat Desa Pakong : Proposal penelitian Prodi Tarbiyah STAIN Pamekasan, 2016.

Latar belakang masalah dalam penelitian ini adalah fakta bahwa saat ini telah terjadi demoralisasi di Indonesia yang menuntut adanya peningkatan kualitas pendidikan secara menyeluruh. Sebagai lembaga pendidikan Islam non formal, Mushalla An-Nashr merupakan lembaga pendidikan non formal yang menyelenggarakan pendidikan holistik dengan sistem membina rohani, intelektual dan mengaji serta praktik ibadah sejak usia dini.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:
Peran Guru Ngaji dalam Membentuk Nilai-nilai Karakter Anak Usia Dini Mushalla An-Nashr dan
Faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan peran guru ngaji dalam Membentuk Nilai-nilai Karakter Anak Usia Dini Di Mushalla An-Nashr Dusun Duko Barat Desa Pakong.

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research). Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan observasi, wawancara mendalam, dokumentasi, dan triangulasi. Teknik analisa data dilakukan dengan reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan:
Peran Guru Ngaji dalam Membentuk Nilai-nilai Karakter Anak Usia Dini Di Mushalla An-Nashr Dusun Duko Barat Desa Pakong yaitu: merumuskan tujuan dan konsep pendidikan yang jelas, membentuk lingkungan yang kondusif, menetapkan tata tertib , serta membuat program kegiatan Anak Usia Dini yang bersifat harian,dan mingguan.
Faktor pendukung yang dialami Mushalla An-Nashr dalam Membentuk Nilai-nilai Karakter Anak Usia Dini antara lain: jiwa keagamaan, sikap positif anak, dukungan dari lingkungan, hubungan kerja sama antara Pengelola dengan orang tua, kharisma dan kewibawaan Pengelola, serta sistem yang diterapkan. Sedangkan faktor penghambatnya antara lain: semangat belajar anak yang masih kurang, fasilitas yang kurang memadai, kurangnya tenaga pendidik, serta heterogenitas anak.

Kata Kunci: Peran guru ngaji, Nilai-nilai karakter, Anak
Share:

Minggu, 10 April 2016

Perkembangan Moral Aplikasi Teori Belajar Dalam Pembelajaran

Perkembangan Moral Aplikasi Teori Belajar Dalam Pembelajaran
A. Pengertian Moral.
Kata Moral berasal dari bahasa latin “Mores” yang memiliki arti tata cara, kebiasaan, dan adat. Sikap moral berarti suatu perilaku yang dikembangkan oleh konsep moral dan sesuai dengan kode moral suatu kelompok sosial. Konsep moral adalah suatu peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi suatu budaya. Pengertian ini didasarkan pada pendapat para ahli, sebagai berikut:

James Rachel, menggambarkan bahwa moralitas adalah suatu usaha untuk membimbing tindakan seseorang, untuk melakukan apa yang paling baik menurut akal. Rachel menekankan pada fungsi untuk menentukan apa suatu perbuatan itu bermoral atau tidak.
Frans Magnis Suseno, sebagaimana dikutip oleh C.Adiningsih menyatakan bahwa moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang digunakan manusia untuk mengukur kebaikan seseorang. Sedangkan moralitas sebagai sikap hati seseorang yang terungkap dalam tindakan lahiriyah.

B. Aspek-aspek Pembelajaran Moral.
Sebagai sebuah tolok ukur perbuatan manusia, perlu diupayakan pembelajaran moral. Pembelajaran moral selain dapat didekati dari aspek kognitif (penalaran moral), dapat juga dikaji dari aspek afektif (perasaan moral), sehingga dapat mendorong terjadinya tindakan atau perilaku moral. Pembelajaran moral didekati dari aspek kognitif sebagai unsur pemahaman moral atau penalaran moral, yaitu untuk mempertimbangkan, menilai dan memutuskan suatu perbuatan, seperti baik atau buruk, etis atau tidak etis, benar atau salah berdasarkan prinsip-prinsip moral.

Pembelajaran moral dikaji dari aspek afektif sebagai unsur perasaan moral, agar memiliki kemampuan untuk mengambil sudut pandang orang lain, serta menempatkan dirinya ke dalam posisi orang lain, serta memiliki kemempuan untuk menyelesaikan pertentangan peran yang berkaitan dengan nilai-nilai moral seperti keadilan, persamaan, keseimbangan dan lain-lain. Penekanan aspek moral ini bukan hanya terbatas pada pengetahuan tentang moral, tetapi lebih kepada aksi moral, yaitu moral dijadikan sebagai perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari.

C. Perkembangan Moral.
Perkembangan moral menurut “Kohlberg” dapat dijabarkan dalam tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
Pra Konvensional. Pada perkembangan moral tingkat ini adalah perkembangan awal yang dialami anak usia dini. Pada usia tersebut anak memahami moral sebagai konsekuensi dari perilaku moral yang dilakukannya. Dalam tahap ini, anak dalam melakukan tindakan moral dalam tingkatan menghindari risiko / hukuman yang akan timbul jika ia tidak melaksanakan tindakan moral tersebut. Tahap kedua dari perkembangan Pra Konvensional menempati pandangan yang menekankan pada keuntungan materialyang dapat diperoleh. Hal ini yang dapat menimbulkan sikap tidak peduli terhadap persoalan orang lain yang tidak mengutungkan dirinya.
Konvensional. Hal itu terjadi secara umum pada remaja, seseorang yang ada pada tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Jadi, seseorang pada tahapan ini melakukan tindakan moral berorientasi pada pencitraan dirinya.
Pasca Konvensional. Adalah suatu tingkat pemahaman moral yang dialami orang dewasa. Pada masa tersebut, seseorang telah mencapai tingkatan tertinggi dari kesadaran moral. Pada tingkatan ini, seseorang yang melakukan tindakan moral didorong oleh kesadaran bahwa melakukan akan memberikan manfaat baik secara langsung ataupun tidak langsung kepada orang tersebut.

Perkembangan moral, seperti yang dijelaskan oleh “Piaget” dan “Kohlberg” tidak menjamin timbulnya tingkah laku moral, karena tidak semata-mata dipengaruhi oleh pengetahuan tentang konsep moral, tetapi juga ditentukan oleh banyak factor seperti tuntutan sosial, konsep diri anak, dan lain sebagainya.

Sumber: Psikologi Belajar Aplikasi Teori Belajar Dalam Pembelajaran, Dr.H.M.Muchlis Solichin, M.Ag, Pena Salsabila 2013.


Share:

Teori Perkembangan Manusia dari Masa Konsepsi Sampai Masa Dewasa

Teori Perkembangan Manusia dari Masa Konsepsi Sampai Masa Dewasa
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu hak dasar anak adalah hak untuk tumbuh dan berkembang. Artinya anak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh secara fisik dan berkembang secara psikologis. Ini semua akan terjadi bila linkungan sangat kondusif sehingga memungkinkan perkembangan jiwa mereka dapat terlaksana dengan optimal.
Orangtua memiliki peranan yang amat penting dalam upaya mendukung perkembangan anak, khususnya saat mereka berada pada tahapan usia dini. Namun permasalahan seringkali muncul, manakala orangtua sering kurang memahami teori perkembangan anak. Tidak adanya pendidikan khusus untuk mempersiapkan seseorang menjadi orangtua juga semakin mempersulit tugas orangtua dalam menangani berbagai permasalahan perkembangan anak.

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Periodesasi Perkembangan
Periodesasi perkembangan maksudnya adalah pembagian seluruh masa perkembangan seseorang kedalam periode tertentu. Dalam studi ilmu jiwa perkembangan adalah ilmu pengetahuan praktis, yang dengan demikian dituntut pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam formulassi lain, ilmu jiwa perkembangan ilmu adalah ilmu amaliah untuk mewujudkan suatu amal yang ilmiah. Dari segi ini, periodesasi perkembangan sangatlah penting.
Para ahli psikologi perkembangan melakukan studi tentang perubahan tingkah laku itu dalam semua siklus kehidupan individu mulai masa konsepsi sampai mati, walaupun usaha-usahanya banyak difokuskan sampai pada periode remaja.
Dengan mengetahui periode-periode tertentu, maka seseorang akan mudah mengetahui bahkan meramalkan sifat-sifat dan kecenderungan anak dalam masa perkembangannya. Tanpa periodesasi kita tak bisa menyebutkan istilah bayi, anak kecil, kanak-kanak, remaja, dewasa dan sebagainya. Oleh karena dalam setiap istilah itu telah terkandung disana adanya periodesasi. Sampai disini, jelaslah bahwa dari segi teknis operasional, maka periodesasi perkembangan itu tak mungkin dihindarkan. Walaupun perpindahan dari satu periode ke periode lainnya tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan terjadi sedikit demi sedikit.
Untuk menghasilkan kerangka yang memuaskan periodesasi perkembangan ini, juga telah dilakukan penelitian oleh para ahli. Dari hasil penelitian tersebut, akhirnya diketahui bahwa ternyata dasar yang digunakan untuk mengadakan periodesasi perkembangan berbeda-beda antara seorang dengan ahli yang lain. Tetapi secara garis besarnya periode itu ada tiga macam, yaitu periodesasi biologis, periodesasi didaktis, dan periodesasi psikologis.

B. Macam-macam Periodesasi Perkembangan
a. Periodesasi Biologis
Periodesasi biologis adalah pembagian masa perkembangan menjadi periode-periode tertentu, berdasarkan gejala berubahnya struktur fisik seseorang.

1. Menurut Aristoteles
Ia membagi periode perkembangan seseorang menjadi tiga periode, yakni :
a) Umur 0-7 tahun, disebut fase anak kecil atau masa bermain. Fase ini diakhiri dengan pergantian gigi.
b) Umur 7-14 tahun, disebut fase anak sekolah atau masa belajar yang dimulai dari tumbuhnya gigi baru dan diakhiri ketika kelenjar kelamin mulai berfungsi.
c) Umur 14-21 tahun, disebut fase remaja atau masa pubertas, yakni masa peralihan antara kanak-kanak dan masa dewasa. Periode ini dimulai sejak berfungsinya kelenjar kelamin sampai seorang anak memasuki usia dewasa.
Pendapat ini dikategorikan kepada periodesasi yang berdasarkan pada biologis, karena Aristoteles menunjukkan bahwa, antara fase I dan fase II itu ditandai dengan adanya pergantian gigi, serta batas antara fase II dan fase III ditandai dengan mulai bekerjanya atau berfungsinya organ kelengkapan kelamin, contoh : mulai aktif kelenjar kelamin.

2. Menurut Dr. Maria Montessori
a) Usia 1-7 tahun, masa penerimaan dan pengaturan rangsangan dari dunia luar melalui alat indra.
b) Usia 7-12 tahun, masa abstrak, dimana anak mulai memperhatikan masalah kesusilaan, mulai berfungsi perasaan etisnya yang bersumber dari kata hatinya. Dia mulai tahu akan kebutuhan orang lain.
c) Usia 12-18 tahun, masa penemuan diri serta kepuasan terhadap masalah-masalah sosial.
d) Usia 18-24 tahun, masa pendidikan diperguruan tinggi, masa untuk melatih anak (mahasiswa) akan realitas kepentingan dunia. Ia harus mampu berpikir secara jernih, jauh dari perbuatan tercela.

3. Menurut Orang Jawa
Dengan menganut paham “hasta irama” sementara kalangan orang Jawa berpendapat bahwa setiap 8 tahun sekali terjadi perubahan pada kehidupan seseorang baik dalam aspek jasmani maupun kerohanian. Menurut paham ini periodesasi perkembangan seseorang adalah sebagai berikut :
a. Umur 0-8 tahun, disebut masa bayi dan masa kanak-kanak.
b. Umur 8-16 tahun, disebut masa kanak-kanak sampai pemuda.
c. Umur 16-24 tahun, disebut masa pemuda sampai masa dewasa.

4. Menurut Sigmund Freud
Dalam menentukan periodesasi perkembangan, Freud berpedoman pada cara reaksi bagian tubuh tertentu yang dihubungkan dengan dorongan seksual seseorang. Lebih jelasnya, periodesasi perkembangan menurut Freud adalah sebagai berikut :
1. Umur 0-5 tahun, disebut periode infantile, periode kanak-kanak. Periode ini dibagilagi menjadi :
2. Fase Oral, umur 0-1 tahun, anak mendapatkan kepuasan seksual melalui mulutnya, seperti mengisap jari.
3. Fase Anal, umur 1-3 tahun, anak mendapatkan kepuasan seksual dengan memainkan anusnya.
4. Fase Falis, umur 3-5 tahun, anak dalam mendapatkan kepuasan seksual telah berkisar pada alat kelamin.
5. Umur 5-12 tahun, disebut periode latent, masa tenang karena dorongan seksual ditekan sedemikian rupa, sehingga tidak nampak mencolok.
6. Umur 12-18 tahun, disebut periode pubertas, saat dorongan-dorongan seksual mulai muncul kembali, bahkan tampak semakin menonjol daripada masa sebelumnya, saat seseorang secara sungguh-sungguh mulai tertarik pada jenis kelamin lain, sekaligus menandai kedewasaan seseorang.
Jadi, dari uraian beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwasanya periodesasi biologis itu berhubungan dengan perkembangan tahapan yang dilewati seorang anak sampai masa dewasa hingga masa meninggal.

b. Periodesasi Didaktis
Periode didaktis maksudnya adalah pembagian periode perkembangan atas dasar klasifikasi waktu, materi, dan cara pendidikan untuk anak-anak pada masa tertentu. Jelasnya periodesasi didaktis disusun dalam kaitan dengan usaha pendidikan.
Yang dimaksud dari tinjuan ini adalah dari segi keperluan/materi apa kiranya yang tepat di berikan kepada anak didik pada masa-masa tertentu, serta memikirkan tentang kemungkinan metode yang paling efektif untuk di terapkan di dalam mengajar atau mendidik anak pada masa tertentu tersebut. Adapun hadist yang menyetakan tentang didaktis adalah:
اَدِّبُوْا اَوْلَادَكُمْ عَلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ حُبِّ نَبِيِّكُمْ وَ حُبِّ اَهْلِ بَيْتِهِ وَ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فَإِنَّ حَمَلَةَ الْقُرْآنِ فِى ظِلِّ اللهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ مَعَ أَنْبِيَائِهِ وَ أَصْفِيَائِهِ ( رواه الديلمى عن علي )
Artinya:
“Didiklah anak-anakmu dalam tiga hal: Mencintai Nabimu, mencintai keluarga Nabi dan membaca Qur’an, karena sesungguhnya orang yang menjunjung tinggi Qur’an akan berada di bawah lindungan Allah, di waktu tidak ada lindungan selain lindungan-Nya, bersama Nabi-Nabi Allah dan Pilihan-Nya.” (Diriwayatkan oleh Dailami dari ‘Ali)
Pada hadist lain yaitu :
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ كَمَا تَنَاتَجُ الْإِبِلُ مِنْ بَهِيمَةٍ جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّ مِنْ جَدْعَاءَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ مَنْ يَمُوتُ وَهُوَ صَغِيرٌ قَالَ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ (رواه أبو داود)
Artinya:
“Menceritakan kepada kami Al-Qa’nabi dari Malik dari Abi Zinad dari Al–A’raj dari Abu Hurairah berkata Rasulullah saw bersabda : “Setiap bayi itu dilahirkan atas fitroh maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasroni sebagaimana unta yang melahirkan dari unta yang sempurna, apakah kamu melihat dari yang cacat?”. Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah bagaimana pendapat tuan mengenai orang yang mati masih kecil?” Nabi menjawab: “Allah lah yang lebih tahu tentang apa yang ia kerjakan””. (H.R. Abu Dawud)

1. Menurut Undang-Undang Pokok Pendidikan
Jenjang pendidikan menurut Undang-Undang Pokok Pendidikan No. 4 tahun 1950 pasal 6, adalah sebagai berikut :
a) Pendidikan tingkat taman kanak-kanak.
b) Pendidikan tingkat sekolah dasar.
c) Pendidikan tingkat sekolah menegah.
d) Pendidikan tingkat perguruan tinggi.

c. Periodesasi Psikologis
Periodesasi Psikologis, maksudnya adalah pembagian masa perkembangan atas dasar keadaan dan ciri-ciri khas kejiwaan anak pada periode tertentu. Ada sejumlah ahli yang memprakarsai pembagian semacam ini, antara lain :

1. Menurut Oswald Kroh
Dengan menitik beratkan terjadinya kegoncangan psikis pada diri seseorang, maka Kroh menyusun periodesasi perkembangan sebagai berikut :
a) Umur 0-3 tahun, disebut masa trots (kegoncangan) pertama, atau masa kanak-kanak awal.
b) Umur 3-13 tahun, disebut masa trots kedua, yaitu masa keserasian anak untuk memasuki sekolah.
c) Umur 13-akhir remaja, disebut masa trots ketiga, atau masa kematangan seseorang.

2. Menurut J. Havighurst
Berpangkal dari analisis perubahan psikis seseorang, menurut Havighurst, periodesasi perkembangan dapat disusun sebagai berikut :
a) Umur 0-6 tahun, adalah masa bayi dan masa anak kecil.
b) Umur 6-12 tahun, adalah masa kanak-kanak ata masa sekolah.
c) Umur 12-18 tahun, adalah masa remaja.
d) Umur 18-30 tahun, adalah masa dewasa awal.
e) Umur 30-50 tahun, adalah masa setengah baya, masa dewasa lanjut.
f) Umur 50 tahun keatas, adalah masa lanjut usia atau masa tua.

3. Menurut Charlotte Buhler,
membagi perkembangan anak menjadi lima fase, yakni :
a) Fase I, umur 0-1 tahun, perkembangan sikap subjektif menuju objectif.
b) Fase II, umur 1-4 tahun, makin meluasnya hubungan dengan benda-benda sekitarnya, atau mengenal dunia secara subjectif.
c) Fase III, umur 4-8 tahun, masa memasukkan diri dalam masyarakat secara objectif, adanya hubungan diri dengan lingkungan sosial dan mulai menyadari akan kerja, tugas serta prestasi.
d) Fase IV, umur 8-13 tahun, munculnya minat kedunia objek sampai pada puncaknya, ia mulai memisahkan diri dari orang lain dan sekitarnya secara sadar.
e) Fase V, umur 13-19 tahun, masa penemuan diri dan kematangan yakni Synthesa sikap subjectif dan objectif.
Sampai di sini jelaslah, bahwa periodesasi perkembangan itu dapat disusun dalam rumusan yang bervariasi, masing-asing mempunyai dasar dan maksud tersendiri. Seperti telah diuraikan terdahulu, paling tidak ada 3 macam landasan untuk menyusun periodesasi perkembangan, yaitu: dasar biologis, didaktis, dan psikologis. Ketiganya, sama-¬sama penting untuk diperhatikan. Tetapi yang lebih penting lagi, bahwa rumusan periodesasi perkembangan hendaknya tidak terlalu muluk-muluk, ruwet, teoritis, dan asing bagi masyarakat kita. Oleh karena, dengan periodesasi perkembangan, maksudnya adalah untuk berkomunikasi tentang konsep atau istilah tertentu. Berkomunikasi dengan siapa? Dengan masyarakat umum, dan dengan dunia ilmu jiwa perkembangan khususnya.
Atas dasar pandangan tersebut, periodesasi perkembangan yang relatif cocok untuk membicarakan perihal kehidupan anak-anak kita, tidak lain adalah yang sesuai dengan klasifikasi jenjang pendidikan formal, yaitu taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi. Telah dimaklumi, masing-masing membutuhkan jarak waktu 6 tahun. Hanya saja, setiap jarak waktu 6 tahun tersebut, bisa diperinci menjadi bagian yang lebih kecil lagi. Misalnya periode taman kanak-kanak yang biasanya hanya membutuhkan waktu selama 2 tahun, tentu saja bisa diawali dengan pembicaraan tentang masa bagi, masa anak kecil, barn masa taman kanak-kanak itu sendiri. Demikian halnya, untuk periode sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi.
Dengan memperhatikan periodesasi yang dikemukakan oleh para ahli di atas baik yang ditinjau dari segi biologis, didaktis, dan psikologis, maka dalam artikel ini dibuat gambar dan urut-urutan periodesasi perkembangan manusia tersebut, sebagai berikut :

a. Masa Intra Uterin (masa dalam. kandungan)
b. Masa Bayi
c. Masa Anak Kecil
d. Masa Anak Sekolah
e. Masa Remaja
f. Masa Dewasa dan Lanjut Usia
III. KESIMPULAN
1. Periodesasi perkembangan maksudnya adalah pembagian seluruh masa perkembangan seseorang kedalam periode tertentu.
2. Dengan mengetahui periode-periode tertentu, maka seseorang akan mudah mengetahui bahkan meramalkan sifat-sifat dan kecenderungan anak dalam masa perkembangannya. Tanpa periodesasi kita tak bisa menyebutkan istilah bayi, anak kecil, kanak-kanak, remaja, dewasa dan sebagainya.
3. secara garis besarnya periodesasi itu ada tiga macam, yaitu periodesasi biologis, periodesasi didaktis, dan periodesasi psikologis.


IV. DAFTAR RUJUKAN
Dra. Hamdanah HM, M.Ag,. Psikologi Perkembangan, Malang: Setara Press, Januari 2009
Dr. H. Syamsu Yusuf LN., M.Pd, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja
Ahmadi,Abu, dkk, Psikologi Perkembangan, Jakarta : PT. Rineka Cipta, Januari 2005
Fachruddin HS dan Irfan Fachruddin, S.H. Pilihan Sabda Rasul (Hadis-Hadis Pilihan). Jakarta: Bumi Aksara (1996)
Drs. Zulkifli L, Psikologi Perkembangan¸Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009.
Share:

Discourse communities and speech communities

Discourse communities and speech communities
2.1. Discourse communities and speech communities
A key notion of discourse analysis is a concept of discourse community. Discourse community is a group of people who share some kind of activity such as member of a club or association who have regular meeting. Or a group of student who go to classes at the same university. Members of a discourse community have particular ways of communicating with each other. They generally have shared goal and may have shared value and beliefs. Swales (1990) provides a set of characteristic for identifying a group of people as members of a particular discourse community, the group must have some set of shared common goals, some mechanisms for communication, and some way of providing the exchange of information amongst its member . The community must have its own particular genres, its own set of specialized terminology and vocabulary, and a high level of expertise in its particular area. These goals may be formally agreed upon (as in the case of clubs and associations) ‘or they may be more tacit’ (Swales 1990:24). The ways in which people communicate which each other and exchange information will vary according to the group. This might include meeting, newsletter, casual conversations or a range of other types of written and/or spoken communications. That is, the discourse community will have particular ways for communicating with each other and ways of getting things done that have developed through time.

Discourse communities also interact with wider speech communities. For example, the academic discourse community of students and academics also interacts with the wider speech community of the town or city in which the academic institution is located (Swales 1993). It is for these reasons that some people prefer the term communities of practice (Wenger 1998; Barton and Tusting 2005) to the term ‘Discourse community’. The notion of discourse community is not. However, as straight forward a concept as it might seems. There are often discourse communities within discourse analysis. Swales’ (1998) book Other Floors, Other Voices shows this well. Swales carried out a study of the building in which he was working at the time at the university of Michigan. He worked on the top floor of a small university building. The other floors were occupied by the computing resource site and a herbarium. He looked at the kinds of activities people working in each floor were engaged in and the kinds of text they wrote. He also interview members of staff to get an understanding of why they wrote the kinds of texts they did. He found that people on each floor wrote quite different texts and were an example of discourse community of their own. Swales propose the notion of place discourse community to account for this kind of situations.

Devitt (2004: 42 - 4) adds to this discussion by proposing three types of group of language user: communities, collectives and networks. Communities are ‘groups of people who share substantial amounts of time together in common endeavors’, such as a group of people who all work in the same office. Collectives are group of people that ‘form around a single repeated interest, without the frequency or intensity of contact of community’, such as people who are members of a bee-keeping group, or voluntary members of community telephone advice service. Network is group of people that are not tightly knit as speech communities with connection being made by one person ‘who knows another person, who knows another person’. Such as connections that are made through email messages sent and received by people who may never have (or never will) met each other but are participating in a common discourse.

2.2 Speech communities and spoken and written discourse
Speech community is a boarder than the term discourse community. According to Richard Nordquist, speech community is a term in sociolinguistics and linguistics anthropology for a group people who use the same variety of a language and who share specific rules for speaking and for interpreting speech. It includes discourse communities and the repertoire and varieties of languages that members of the speech community use to interact with each other. Speech community is important for the discussions of spoken and written discourse. In linguistics, a speech community refers to any a group of people that speak the same language.

Defining a speech community
There are some factors that make easier to define a speech community other than just language. Those are social, geographical, cultural, political and ethnic factors, race, age and gender.
Not all of speakers always be full members of particular speech communities. For example is in the case of second language setting. For example, a speaker may participate, only to a certain degree, in the target speech community. The degree to which occurs may be due to factors such as age to entry into the speech community, the speech community’s attitudes and expectations towards the place of second language speakers in the speech community or other factors such as educational or occupational opportunities, limitations in the particular speech community. It also can depend on the other factor such as on a person’s degree of proficiency in the second language and the extent to which they want to be part of the second language speech community.
Speech community may be quite separate or overlap or intersect with each other. Speakers often have repertoire of social identities and speech community memberships each of which is associated with particular kinds of verbal and non-verbal expression.

2.3. Discourse and language choice
Discourse and language choice is a variation of language when we interact with the other communities as explained by Holmes (2001) that the choice of language is being used in such as, with family, among friends, and in religious, educational and employment settings. Social factors such as who we are speaking to, the social context of the interaction, the topic, function and goal of the interaction, social distance between speakers, the formality of the setting or type of interaction and the status of each of the speakers are also important for accounting for the language choice that a person makes in these kinds of settings.
“A speaker or writer may also be the speaker of a particular language variety but be using that variety to communicate with a wider speech community than just their own. The best seller Eats, Shoots & Leaves” (Truss 2003) for examples:
2.4. Discourse, Social class and Social Networks
Social Class and Social networks are a the way we spoken or written with the other but we have to use the words or speech be right and polite such as when we speak or write something to family we use the word be polite.
According to Milroy (1997: 60-1) explain:
“Social networks and social class represent different orders of generalization about social organization. Class accounts for the hierarchical structure of society …, whereas network deals with the dimension of solidarity at the level of the individual and his or her everyday contacts”.

2.5. Discourse and Gender
Simone de Beauvoir famously said ‘one is not born, but rather becomes a woman’. Performativity is based on the view that in saying something, we do or become it. A person learns, for example, how to do and turn display, being a woman in a particular social setting, of a particular social class. People perform particular identities through their use of language and other way of expressing themselves in their interactions with each other. Mostly, this is done unconsciously as we repeat acts such as gesture, movement, and way of using the language that signify, or index a particular identity. These acts are not, however, natural nor are they part of the essential attributes of a person. They are part of what people acquire in their interactions with each other.

Lakoff (1975) proposed what she called women’s language; that is a use of language that is different from men’s language or rather, what she termed ‘neutral language’. This language, she argued, included feature such as the use of overly polite forms, the use of question tags, rising intonation in declarative the avoidance of expletives, a greater use of diminutives and euphemism, the use of more hedges and mitigating devise, more indirectness and the use of particular vocabulary items such as ‘adorable, charming, and sweet’ (woman language) versus ‘great, terrific, and cool’ (neutral language). This use of language, she argued, made woman’s language tentative and, couple with the use of demeaning and trivializing term for women, work to keep the women in their place in society. These differences, she argued were the result of, and reinforced, men’s dominance over women.

Lakoff’s book led to two separate view of women’s language the dominance approach and the difference (or cultural) approach. Spender’s (1980) man made language is an example of the dominance approach which sees differences in the use of language as a result of men’s domination over women. This view focuses on the distribution of power in society and argues that women’s language reflects women’s subordinate position and society and persists to keep them in that position (Eckert and McConnell-Ginet 2003). Participants in discourse, in this view, collude in sustaining and perpetuating male dominance and female expression in society.

Tannen’s (1990) you just don’t understand is an example of the difference approach. Tannen argued that boys and girls live in different subcultures in the way that people from different social and ethnic backgrounds might be described as being part of different subcultures. As a consequence boys and girls grow up learning different ways of using language and communicating with people in other cultural group (for example, men).
In a critique of both the dominance and difference views of language and gender, Cameron (1998) argues that expression of gender and power are always context-specific and need to be understood in relation to who the person is speaking to, ‘from what position and for what purpose’ (Cameron 1998:451); that is what the use of language means in terms of the relationship between the speakers in the particular situation in which the interaction occurs.

The discussion of how men and women speak, and what they do as they speak, has also been extended to how people speak about men and women. Holmes (2004), for example, compared the use of the terms woman and lady and found that the social significance of these terms has changed over the last 30 years. She found women, for example, has moved from being mark impolite at the time Lakoff was writing to a situation where this is no longer the case (although woman is more frequently use in written British English than in spoken British English). She also found that while lady /ladies may be used as a politeness marker in formal settings (as it was becoming at the time Lakoff was writing), nowadays, in informal settings, it is also used to trivialize and patronize.

As Cameroon and Kulick (2003, 57) argue, ‘the relationship between language and gender is almost always indirect, mediated by something else’. The ways that people speak are, in the first instance, associated with particular roles, activities and personality traits, such as being a mother, gossiping and being modest (Cameron and Kulick 2003).
So, gender is only one part of person’s social identity, and it is an aspect which will be more or less salient in different contexts. In some contexts, for example, it may be more important to emphasise one’s personal expertise, one ethnic identity. Or one’s age than one gender. (Holmes 1997:9)

2.6. Discourse and sexuality
Discourse and sexuality is about how language interacts to sexuality. Exactly discourse and society has correlation with the topic of gender and discourse which the language are using by human it depend with gender such as woman who has identity how their language. The polite form of language, use of question tag, rising intonation in declarative and the other politeness, it is the particular part of woman language. It is difference with the style of men. They often use word such as “ehmm”, “do you know”, “swetee” and etc.

Gender as we know that it is constructed by social. Sexuality is the human unconscious desire until made over. Desire in this context is the guide thing is no awareness control. Which is as example have desire to intimate for man to the other man overly. We call it gay. Gay is “a term that primarily refers to a homosexual person or the trait of being homosexual” (Wikipedia). Homosexual is “from ancient Greek meaning “same” and Latin sexus, meaning “sex”) is romantic attraction, sexual attraction or sexual behavior between members of the same sex or gender.”(Wikipedia). Desire is “encompasses more than just the preference for partner of the same or other sex: it also deals with the non-intentional, non- conscious and non-rational dimensions of human sexual life.” It also have identity are consciously namely gay, lesbian, straight and etc. Gay is men who less of masculine and has sex with other men. Lesbian is romantic love and sexual attraction by female or homosexual by female.

There many characterize of language used by homosexual. Hayes’s claim the characterized is used argot (a secret language are used by some community), innuendo (“ is an insinuation or imitation about person or thing especially of denigrating or a derogatory nature” Wikipedia), categorization, strategic evasions is like omitting or changing gendered pronouns. There are three theoretically of gay speak:
1. To protect the identity or against the exposure and use innuendo
2. When express about gay to careful, and doesn’t the vocabulary are defining sexual roles and behaviors
3. Politicizing social life as the source activities.

2.7. Discourse and identity
every people has their identity in their life it can be identity as a women an identity as mother an identity as a father and also identity as a someone dealt with their job or profession Their identity can be seen when their making conversation with the other using language Blommaert pointed out that the information a person give of about themselves that show their identity depend much on the contexts occasion and the purpose of the discourse the way people write down an online it also show their identity the By the way the write people will know your identity violetta: I’d have whole typing styles for people like if I were trying to trick someone I know into thinking I was someone else I’d type a lot differently than I do normally A person’s typing style can give them away like their voice does (Thomas)

 Identity and casual conversation
Casual conversation is type of talk in which people feel more relaxed most spontaneous it means that if we doing casual conversation they establish solidarity through the confirmation of similarities the way the casual conversation same like all the spoken interactions where it is influenced by the relationship between the people speaking.

 Identity and written and academic discourse
Written and academic discourse dealt with they or people or student that should be write their discourse in their second language while the way that they should be write is having different way from their fist language.

2.8. Discourse and Ideology
As Threadgold (1989) observes, text are never ideology free nor objective. Nor can they be separated from the social realities and processes they contribute to maintaining. Foe Threagold, spoken and written genre are not just linguistic categories but among the very processes by which dominant ideologies are reproduced, transmitted and potentially changed (1989:107)
There are a number of ways in which ideology might be explored in a text. The analysis may start by looking at textual features in the text and move from there to explanation and interpretation of the analysis. This may include tracing underlying ideologies from the linguistic features of a text, unpacking particular biases and ideological presupposition underlying the text and relating the text to other text and to reader and speaker own experiences and beliefs ( Clark 1995).

The example is Carrie had just discovered an engagement ring in her boyfriend. Aiden's overnight bag. She then went into the kitchen and vomited. She is telling her friends about this incident:
Charlotte: You're getting engaged!
Carrie: I threw up. I saw the ring and I threw up. That’s not normal.
Samantha: That’s my reaction to marriage
Miranda: what do you think you might do if he asks?
Carrie: I don’t know
Charlotte: Just say yessss!!!
Carrie: Well, it hasn’t been long enough has it?
Charlotte: Trey and I got engaged after only a month.
Samantha: How long before you separated?
Charlotte: We are together now and that’s what matters. When it’s right you just know.
Samantha: Carrie doesn’t know
Carrie: Carrie threw up
Samantha: So it might not be right…

A key term in literary and cultural value as fore grounded in the conversation, if a man asks a woman to marry him she should ‘Just say Yes’ (the title of the episode). Other value and background or rather omitted, such as Carrie’s views on Aiden’s occupation, ethnic background and social class possibly because the audience of the show already knows this (no because, in this case, they are not relevant).

An analysis of this kind takes the level of description to a deeper understanding of text and provides, as far as might be possible, some kind of explanation of why a text might be as it is and what it is aiming to do. The relationship between language, social norms and values to describe, interpret and explain this relationship. In doing so, it aims to provide a way of exploring and perhaps challenging some of hidden and out of sight social, cultural and political values the underline the use of spoken and written discourse.

REFFERENCE
Partridge, Brian. (2006). Discourse Analysis. New York: The Tower Building
Share:

Sabtu, 02 April 2016

Budaya Masyarakat Madura suatu sistem kerabatan

 Budaya Masyarakat Madura suatu sistem kerabatan
Kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orang tua dan sebaliknya kedudukan anak terhadap kerabat yang lain, serta masalah perwalian anak[1]. Masyarakat adat madura memiliki suatu sistem kekerabatan yang khas dan unik. Sistem kekerabatan itu menjadi pembeda dengan yang lainnya.

sistem Kekerabatan Masyarakat Madura.
Dalam sistem kekerabatan masyarakat madura dikenal tiga kategori sanak keluarga atau kerabat, yaitu:
1. Taretan Dalem.
2. Taretan Semma'.
3. Taretan Jhau.

Sedangkan dalam sistem sosialnya, masyarakat Madura mengenal dua kepemimpinan yang menjadi panutan dan harus dipatuhi apa yang menjadi perintahnya. Adapun dari kedua pemimpin tersebut adalah, ialah:
1. Pemimpin formal atau kepala desa yang sering disebut dengan istilah setempat dengan Kalebun..
2. Pemimpin nonformal atau yang disebut dengan Keyaeh. Keyaeh atau pemangku adat merupakan pemimpin bersifat non formal. Meskipun nonformal, kharismatik kepemimpinannya cukup penting dan vital bagi berlangsungnya kehidupan adat istiadat. Hal ini karena keyaeh memegang kedudukan penting dalam setiap kegiatan adat, utamanya upacara adat yang bernuansa agamis.

Kekerabatan mempunyai hubungan hukum yang didasarkan pada hubungan darah, antara lain antara orang tua dengan anak-anaknya. Juga karena hukum yang berhubungan dengan keturunan yang bergandengan dengan ketunggalan leluhurnya, tetapi hukum tersebut tidak semuanya sama diseluruh daerah.

Menurut Prof. Bushar Muhammad,SH, keturunan dapat bersifat :
Lurus. Apabila seseorang merupakan langsung keturunan dari yang lain
Menyamping atau bercabang. Apabila antara kedua orang atau lebih terdapat adanya ketunggalan leluhur.[2].

Keunikan sistem Kekerabatan Masyarakat Madura.
Istilah unik menunjuk pada pengertian leksikal bahwa entitas etnik madura merupakan “komunitas tersendiri” yang mempunyai karakteristik berbeda dengan etnik lain dalam bentuk maupun jenis etnografinya[3]. Keunikan budaya Madura itu tampak tidak sejalan dengan kuantitas komunalnya yang menyebar ke berbagai daerah di Nusantara. Diantara keunikan pola/sistem kekerabatan masyarakat madura, adalah:

Kekerabatan Masyarakat Madura Di Rantau.
Masyarakat madura ketika di rantau pun, mereka akan merasa bahwa yang namanya orang madura dari belahan manapun adalah satu saudara. Fakta ini terkadang menimbulkan penafsiran, seolah orang madura ekslusif dan enggan berdampingan dengan etnis lain. Lambat laun, pola pemukiman mereka tak jauh berbeda dari substansi Taneyan Lanjhang. Mereka juga suka menggelar perkumpulan-perkumpulan sebagai wadah silaturrahmi yang seperti di kampung asalnya, yang dalam beberapa tempat perkumpulan ini diberi nama Kambrat. Salah satu upaya yang dilakukan masyarakat madura untuk mempererat dan melestarikan tali kekerabatan yang disebut dengan mapolong tolang adalah menikahkan anaknya dengan anak kerabatnya[4].

Religiusitas Masyarakat Madura.
Sistem kekerabatan masyarakat madura yang kuat seperti ini tak lepas dari nilai kehidupan yang telah dijalani, yang tak lepas dari nilai religius yang tercermin dalam falsafah hidup "Abhantal syahadat, asapo' iman, apajung rahmatah Alloh"[5]. Agama bagi orang Madura adalah bingkai dalam kehidupan. Hal itu terlihat dalam pola taneyan lanjhang yang di dalamnya terdapat langgar sebagai tempat shalat dan sebagai tempat menerima tamu laki-laki.

DAFTAR KAJIAN
1. Hilman Hadikusuma (2003), Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar Maju.
2. Bushar Muhammad (2006), Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, PT Pradnya Paramita.
3. Latief Wiyata, Carok ; Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura(Yogyakarta: LKiS, 2006).
4. Kuliah Tarikh Tasyri' DR.M.Zaini,MA, di STAIN Pamekasan, 16 Mei 2015.


[1] Hilman Hadikusuma (2003), Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar Maju.
[2] Bushar Muhammad (2006), Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, PT Pradnya Paramita.
[3] Hilman Hadikusuma (2003), Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar Maju.
[4] Latief Wiyata, Carok ; Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura(Yogyakarta : LKiS,
2006)
[5] Kuliah Tarikh Tasyri' DR.M.Zaini,MA, di STAIN Pamekasan, 16 Mei 2015.
Share:

Jumat, 01 April 2016

Penyelesaian Masalah Mutu Dengan Menggunakan Siklus Pdca

PERENCANAAN ( “P” )
* Rencana kerja (topik)
Perencanaan dalam mengatasi tingginya Hepatitis di Indonesia
* Masalah mutu yg dihadapi (problem)
Pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap hepatitis masih kurang.
* Rumusan tujuan, target (goal, objective, target)

Tujuan umum :
Untuk mengatasi masalah hepatitis di Indonesia

Tujuan khusus :
1. Diharapkan masyarakat mampu dan mnegtahui tentang bahaya hepatitis yang sering terjadi.
2. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pencegahan hepatitis
* Kegiatan yg dilaksanakan (activities)
1. promosi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat atau PHBS
2. penapisan hepatitis melalui donor darah melalui PMI
3. pengembangan jejaring surveilans epidemiologi Hepatitis.
4. Bekerja sama dengan lintas program untuk penapisan hepatitis
5. Bekerja sama dengan lintas sector untuk peningkatan PHBS agat diterapkan
* Organisasi dan personalia pelaksana
1. Lintas program(Dinas kesehatan)
Tenaga kesehatan (bidan)
2.Lintas sector (semua lapisan masyarakat: kader,toma.dll)
* Biaya (Budget)
Dalam proses Program yang telah di tetapkan semua biaya dari pemerintah.
* Tolak ukur keberhasilan (Milestone)
Kriteria keberhasilan dikelompokkan kedalam 3 macam, yaitu:
Awal program : rencana sesuai dengan opengatasan masalah
Pelaksanaan program : sesuai dengan rencana
Akhir program : dikatakan berhasil apabila tidak ada penyakit hepatitis lagi

PELAKSANAAN ( “DO” )
1. promosi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat atau PHBS
Dengan diadakannya promosi perilaku hidup sehat,masyarakat mampu mengetahui pengetahuan dan kepdulian masyarakat pada hepatitis
2. penapisan donor darah oleh PMI
Dengan diadakan program penapisan donor darah hal ini dapat memperkecil penularan penyakit hepatitis lewat jarum saat pendonoran berlangsung.
3. pengembangan jejaring surveilans epidemiologi Hepatitis
Dengan dilakukannya surveilans dapat mengetahui penularan dan penyebaran yang terjadi di kalangan mayarakat Indonesia sehingga penanganan dapat ditangani sedini mungkin.
4. Bekerja sama dengan lintas program untuk penapisan hepatitis
5. Bekerja sama dengan lintas sector untuk peningkatan PHBS agat diterapkan
PEMERIKSAAN ( “CHEK” )
Pemeriksaan tersebut dilakukan Secara berkala memeriksa berbagai kemajuan dan hasil yg dicapai dan pelaksanaan rencana yg ditetapakan, dengan melakukan Pemantauan pada setiap wilayah untuk mengetahui program yang telah di canangkan telah berjalan sesuai prosedur yang telah di tetapkan atau tidak.
Melakukan wawancara pada masyarakat tentang tanggapan diadakannya program tersebut.
Melakukan pelaporan pada setiap dinkes setempat
jika dari ketiga unsure itu mengalami meningkat / keberhasilan maka bisa dikatan pelaksanaan kegiatan tersebut berhasil.

PERBAIKAN ( “ACTION” )
Setiap pelaksaan kegiatan harus dilakukan perbaiakan rencana kerja dan melakukan penyempurnaan rencana kerja serta melakukan penyelesaian masalah lain jika masih terdapat masalah yang lainnya tetapi jika kegiatan tersebut terlaksana dengan baik maka dilanjutkan dengan menyusun saran
Saran :
1. Diharapkan para tenaga kesehatan melakukan pertimbangan mengenai kegiatan promosi kesehatan,pengembangan surveilan epidemiologi hepatitis sesuai prosedur yang telah di tetapkan.
2. Diharapkan tenaga kesehatan serta para perangkatnya mampu menyelesaikan masalah yang ditemukan baru dengan menggunakan siklus PDCA.

Penulis By. Laili Rosdiana Alumni Akademi Kebidanan Aifa Husada
Share:

Lima Belas Tahun yang Lalu (In Memory At Muba)

Lima Belas Tahun yang Lalu (In Memory At Muba)
Hari itu adalah hari pertama yang aku lalui tanpa melihat teman sepermainan yang tiap hari dan malam selalu gobrol tentang masa-masa yang indah, kutinggalkan alam kampung yang sepi dari keramaian. hembusan angin pada waktu itu mengiringi derap langkah sang pencari ridha Ilahi.
Baca Juga
Srikandi Fenomena dan Kenyataan
Pagi yang cerah
Agustus 1991 merupakan hari yang paling bersejarah bagiku untuk memperbaiki lembaran hidup menuju kehidupan yang lebih sempurna, bermakna dan yang jelas ada satu harapan menjadi "insan yang berguna". lama kupandangi ribuan santri yang helir mudik dengan membawa Kitab-kitab Klasik tanpa bungkusan tas yang saya pernah alami di kampungku. wajah itu berseri-seri, sesekali terlihat bercanda gurau seakan tidak pernah ada beban masalah, justru yang muncul di benaknya adalah mengasah otak dengan ilmu-ilmu agama sebagai pondasi dalam menjalankan tugas khalifah di muka bumi,
Pasca penyerahan itu, aku di tempatkan satu kamar dengan shahabatku yang masih tetangga, sssstt...!! tiba-tiba pundahku ada yang memeggang dari belakang ku coba tuk menoleh ternyata beliau adalah Ayah yang telah membesarkan, walau kenyataannya bukan orang tua asli akan tetapi beliau telah ku akui sebagai ayah. beliau berpesan "hanya Ilmu yang bisa membuatmu bahagia dunia dan akhirat", kata-kata ini begitu singkat namun serat dengan makna yang luas. sehingga fatwa-fatwa beliaulah yang membuatku bisa bertahan di pesantren MUBA.
Satu minggu pasca penyerahan itu, aku mulai melakoni hari-hari ku di pesantren MUBA, sebagai santri yang haus akan IMTAQ, dan mengharap barokahnya beliau, ku jalani satu persatu kajian kitab-kitab klasik sebagai modal awal untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya. hanya satu yang ada dalam jiwaku yaitu sebuah kepercayaan/keyakinan bahwa bagaimanapun kebodohan melekat pasti akan terkikis sedikit demi sedikit. seperti ungkapan falsafah "batu yang cadas akan menjadi lapuk, hanya dengan tetesan air yang terus menerus". dengan satu kometmen yang tak pernah saya lupakan "Kesopanan Lebih Tinggi Nilainya Dari Pada Kecerdasaan". dan itu terbukti padaku yang pernah mengalami kebodohan (baca tulis). والله اعلم بالصواب sebagai mutiara yang terindah Juli 1997
Share:

Popular Posts

Label