Lingkungan merupakan bagian terpenting dan mendasar dari kehidupan manusia. Sejak dilahirkan manusia sudah berada dalam lingkungan baru dan asing baginya. Dari lingkungan baru inilah sifat dan perilaku manusia terbentuk dengan sendirinya. Lingkungan yang baik akan membentuk pribadi yang baik, sementara lingkungan yang buruk akan membentuk sifat dan perilaku yang buruk pula.
Dalam hal ini perlu ada suatu usaha yang nyata untuk menjaga atau membentuk prilaku suatu generasi supaya lebih baik. Generasi yang baik akan memberikan dampak positif pada masa yang akan datang. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar belajar dan proses pembelajaran agar anak secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Melalui pendidikan, anak diharapkan tidak hanya memiliki kecerdasan akademis saja, tetapi juga diimbangi dengan nilai-nilai karakter dan keterampilan yang menjadikan anak menjadi manusia yang utuh.[1]
Melihat fakta yang terjadi, kita harus mengakui bahwa upaya pendidikan Nasional telah cukup banyak berperan, tetapi pelaksanaannya masih belum maksimal dan hanya mampu menyentuh segelintir putra terbaik bangsa. Keterpurukan pendidikan disebabkan oleh sistem pendidikan yang masih bersifat parsial, sehingga out put yang dihasilkan belum membentuk manusia seutuhnya.[2]
Secara sosiologis, guru Madin tidak sekedar agent of social change atau social engenering khususnya dalam pembinaan karakter masyarakat. Namun demikian, kiprah mereka merupakan alternatif pendidikan keagamaan yang menjadi solusi atas jawaban terkait kegagalan pendidikan di sekolah formal dalam memberikan pendidikan karakter atau prilaku kepada siswa akhir-akhir ini.
Menurut Tilaar bahwa pendidikan dewasa ini tengah menghadapi delapan krisis pokok, antara lain:
1) Menurunnya moral dan akhlak anak;
2) Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pemerataan kualitas pendidikan;
3) Rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang dan jenis pendidikan;
4) Masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan nasional,
5) Masih rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan dan pelatihan;
6) Kelembagaan pendidikan dan pelatihan;
7) Manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional; dan
8) Sumber daya yang belum profesional.[3]
Menurut Abduh, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dalam prosesnya mampu mengembangkan seluruh fitrah anak, terutama fitrah akal dan agamanya. Dengan fitrah ini, anak akan dapat mengembangkan daya pikir secara rasional dan menanamkan pilar-pilar kebaikan dalam diri anak yang kemudian akan terimplikasi dalam seluruh aktifitas dalam hidupnya.[4]
Madrasah Diniyah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam, merupakan institusi pendidikan Islam yang banyak ditemukan di Madura, memiliki peran penting dalam sejarah pendidikan untuk melahirkan out put yang tidak hanya mahir dalam penguasaan membaca Al-Qur’an dan kitab kuning, akan tetapi juga berkarakter dan terampil, serta mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif, yaitu dapat menumbuhkan minat, motivasi belajar, untuk meraih prestasi anak dengan maksimal, baik dalam ibadah makhdah maupun ghairu makhdah.
- Rumusan Masalah
Dari latar belakang Masalah tersebut, dapat dirumuskan beberapa pokok masalah sebagai berikut:
- Bagaimana upaya guru Madin dalam membentuk nilai karakter peserta didik?
- Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas ini, memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui upaya guru Madin dalam membentuk nilai karakter peserta didik.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Upaya Guru Madin dalam Membentuk Nilai Karakter Peserta Didik
1. Makna Guru dalam Perspektif Pendidikan Islam
Dalam konsep pendidikan tradisional Islam, posisi guru begitu terhormat. Guru diposisikan sebagai orang yang ‘alim, wara’, shalih, dan sebagai uswah sehingga guru dituntut juga beramal saleh sebagai aktualisasi dari keilmuan yang dimilikinya. Sebagai guru, ia juga dianggap bertanggung jawab kepada siswanya, tidak saja ketika dalam proses pembelajaran berlangsung, tetapi juga ketika proses pembelajaran berakhir,bahkan sampai di akhirat. Oleh karena itu, wajar ketika mereka diposisikan sebagai orang-orang penting dan mempunyai pengaruh besar pada masanya, dan seolah-olah memegang kunci keselamatan rohani dalam masyarakat.[5]
Jadi, pendidik (guru) adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tugas sebagai hamba Allah, serta mampu menjadi makhluk sosial dan individual yang mandiri.
Menurut Wrightman sebagaimana dikutip oleh Mohammad Kosim peranan pada diri guru memiliki makna serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dari perkembangan peserta didik yang menjadi tujuannya. Jadi, peranan guru senantiasa menggambarkan pola tingkah laku yang diharapkan dalam interaksinya dengan peserta didik dan dengan lingkungan sekitar.[6]
Adapun peranan guru dalam hubungannya dengan kegiatan belajar mengajar menurut Louis Gerstmer merumuskan sebagai berikut:
- Guru sebagai pelatih. Ia mendorong siswanya untuk menguasai bahan belajar, memotivasi siswa untuk bekerja keras dan mencapai prestasi setinggi-tingginya.
- Guru sebagai pembimbing. Ia berperan sebagai sahabat, menjadi teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa.
- Guru sebagai manajer. Ia akan mendorong siswanya belajar dan mengambil prakarsa.
- Guru sebagai partisipan. Ia tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku belajar melalui interaksinya dengan peserta didik.
- Guru sebagai pemimpin. Ia menjadi seseorang yang menggerakkan peserta didik dan orang lain untuk mewujudkan perilaku yang menuju terwujudnya bangsa yang kokoh.
- Guru sebagai pembelajar. Ia secara terus menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya.
- Guru sebagai pengarang. Ia secara kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang berguna dalam melaksanakan tugasnya.[7]
Lebih lanjut menurut Azyumardi Azra sebagaimana dikutib oleh Siswanto bahwa Peran guru haruslah bukan hanya sekedar tenaga mengajar, tetapi sekaligus pendidik. Jadi, seorang guru bukan hanya mengajar saja, tetapi lebih penting pula membentuk watak dan pribadi anak didiknya dengan nilai-nilai akhlak (karakter) dan ajaran-ajaran Islam.[8]
Sejalan dengan pendapat diatas, Haidar Putra Daulay, mengelompokkan kompetensi keguruan itu kepada tiga kelompok besar. Dari ketiga kompetensi keguruan tersebut adalah kompetensi moral akademik, seorang guru bukan hanya orang yang bertugas untuk mentransferkan ilmu, melainkan juga orang bertugas untuk mentransferkan nilai. Guru tidak hanya mengisi otak peserta didik, tetapi juga bertugas untuk mengisi mental mereka dengan nilai baik dan luhur mengisi afektifnya. Di sini seorang pendidik menjadi panutan bagi peserta didiknya dalam banyak segi sang guru tadi dapat dijadikan contoh teladan oleh peserta didiknya. Para pendidik Islam di zaman klasik telah banyak membahas tentang ini. Misalnya, Ibn Jama’ah menyebutkan seorang guru mestilah menghiasi dirinya dengan akhlak yang diharuskan bagi seorang yang beragama dan bagi seorang muslim, dan para tokoh pendidik Islam lainnya. [9]
2. Profil Madrasah Diniyah
Wacana seputar Madrasah Diniyah bukanlah sesuatu yang asing bagi para pegiat pendidikan Islam, wacana Madrasah seolah menjadi sumur yang tak pernah kering untuk ditimba dan dikaji. Meski terus dikaji, selalu saja ada sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan dan ditelusuri lebih lanjut. alasannya karena ada sesuatu yang menyatukan dari keberagaman itu, yaitu kedudukan Madrasah yang cukup signifikan dalam kancah pergulatan pendidikan nasional. Artinya, berbicara tentang sejarah pendidikan Indonesia menjadi begitu hambar tanpa menyertakan Madrasah. Tanpa berusaha melebih-lebihkan, bisa dibilang Madrasah adalah sokoguru dan nadi pendidikan Indonesia.
Dalam sejarahnya, Madrasah lahir dari rahim pondok pesantren, dengan cirinya yang khusus berbasis pengetahuan agama. Tidak heran jika pada masa pemerintahan kolonial, Madrasah menjadi salah satu obyek yang terus diselidiki. Pada masa itu, hadirnya sekolah yang diusung dari rahim kolonialisme memang mampu merubah sistem pendidikan Indonesia kearah sistem pendidikan modern, namun hal tersebut tidak mampu merubah Madrasah sebagai fenomena budaya pendidikan Indonesia. Hal ini terlihat dengan eksisnya pendidikan Madrasah sampai sekarang, yang bahkan secara kualitas dan kuantitas mampu bersaing dengan lembaga pendidikan umum. Fenomena tersebut patut direnungkan bersama, bahwa keberadaan Madrasah sebagai suatu sistem pendidikan berbasis pendidikan agama adalah suatu yang menjadi identitas kependidikan bangsa.[10]
Dalam Peraturan Menteri Agama nomor 13 tahun 1964 dan PP nomor 3 tahun 1983 pada pasal 1 dijelaskan bahwa Madrasah Diniyah adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang berfungsi terutama untuk memenuhi hasrat orang tua agar anak-anaknya lebih banyak mendapatkan pendidikan agama Islam. Sedangkan dalam UU sisdiknas nomor 20 tahun 2003, bahwa pendidikan diniyah termasuk jenis pendidikan keagamaan yang diatur pada pasal 30 yang terdiri dari 5 ayat dan pasal 36 dan 37 yang mengatur kurikulum.[11]
3. Makna Pendidikan Karakter
Secara etimologi, kata karakter berasal dari bahasa Yunani, yaitu charassein yang berarti to engrave. Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata Karakter diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak.
Secara termonologis, makna karakter seperti yang dikemukakan Aristoteles, seorang filsuf Yunani Kuno, yang mendefinisikan karakter yang baik sebagai kehidupan dengan melakukan tindakn-tindakan yang benar sehubungan dengan diri seseorang dengan orang lain. Berdasarkan pandangan tersebut, Lickona menegaskan bahwa karakter mulia meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan.
Baca Juga
Kinerja Guru dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Perspektif Etika Guru
Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter. Ahmad Amin mengemukakan bahwa kehendak merupakan awal terjadinya akhlak pada diri seseorang jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku. Jadi, pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada peserta didik, tetapi juga menanamkan kebiasaan tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukannya. Dengan demikian, pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral.[12]
Pendidikan karakter yang secara sistematis diterapkan dalam semua lembaga pendidikan baik formal maupun non formal, merupakan sebuah daya tawar berharga bagi seluruh komunitas. Para anak mendapatkan keuntungan dengan memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya diri dalam diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia dan lebih produktif. Tugas-tugas guru/ustadz menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan ketika para anak didiknya memiliki disiplin yang lebih besar baik di dalam maupun di luar. Orang tua bergembira ketika anak-anak mereka belajar untuk menjadi lebih sopan, memiliki rasa hormat dan produktif. Para pengelola akan menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin, kehadiran, pengenalan nilai-nilai moral bagi anak maupun guru/uztadz, demikian juga berkurangnya tindakan vandalisme di dalam lembaga pendidikan non formal. Sebagai pendidik ataupun orang tua harus menyadari hal tersebut karena jika masa tersebut terlewatkan maka akan sulit untuk membentuk karakter yang baik pada diri anak. Oleh sebab itu kunci sukses pendidikan karakter adalah adanya model atau uswah, baik dari orang tua atau guru sehingga apapun yang ditanamkan orang tua atau guru pada anak didik, akan berpengaruh besar pada periodisasi usia-usia selanjutnya.[13]
Dengan demikian, dapat dikemukakan juga bahwa karakter pendidik adalah kualitas mental atau kekuatan moral, akhlak atau budi pekerti pendidik yang merupakan kepribadian khusus yang harus melekat pada pendidik dan yang menjadi pendorong dan penggerak dalam melakukan sesuatu.
Dalam upaya pembentukan nilai karakter pada peserta didik, guru/Ustadz di Madin menggunakan metode-metode pendidikan karakter berupa metode keteladanan, metode tadzkirah (pemberian nasehat), metode pengajaran, metode pengawasan, dan metode pembiasaan. Melalui metode tersebut, Penanaman karakter pada peserta didik, dilaksanakan secara sistematis dan terus menerus. Sehingga proses itu pun tidak hanya sebatas mengisi ruang dalam batok kepala mereka, melainkan lebih dari itu, mereka kemudian mampu membiasakan hal-hal yang baik, berpikir yang baik, berkata yang baik, bersikap yang baik, yang terangkum dalam kebiasaan yang baik-baik (good habits) dan berakhlak mulia (akhlâqul karȋmah), dan pada akhirnya, mereka mampu mewujudkan salah satu cita-cita pendidikan, yaitu love the good, feeling the good, and action the good.[14]
Nilai karakter yang harus dimiliki oleh peserta didik, diantaranya adalah karakter Religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.[15] Jadi, Nilai-nilai karakter yang sudah mulai terlihat adalah nilai religius, nilai kejujuran, nilai toleransi, nilai disiplin, nilai kerja keras, nilai mandiri, nilai tanggung jawab, nilai bersahabat, dan nilai peduli sosial. Pembentukan nilai karakter tersebut memerlukan kesinambungan yang terus-menerus dan dimana saja.
4. Tahapan-tahapan Guru Madin dalam Pembentukan Nilai Karakter Peserta Didik.
Menurut Ratna Megawangi, pendiri Indonesia Heritage Foundation, ada tiga tahap pembentukan karakter, yakni :
- MORAL KNOWING : Memahamkan dengan baik pada anak tentang arti kebaikan. Mengapa harus berperilaku baik. Untuk apa berperilaku baik. Dan apa manfaat berperilaku baik;
- MORAL FEELING : Membangun kecintaan berperilaku baik pada anak yang akan menjadi sumber energi anak untuk berperilaku baik. Membentuk karakter adalah dengan cara menumbuhkannya;
- MORAL ACTION : Bagaimana membuat pengetahuan moral menjadi tindakan nyata. Moral action ini merupakan outcome dari dua tahap sebelumnya dan harus dilakukan berulang-ulang agar menjadi moral behavior.
Dengan melalui tiga tahap tersebut, proses pembentukan karakter akan menjadi lebih mengena dan siswa akan berbuat baik karena dorongan internal dari dalam dirinya sendiri.[16]
Adapun proses Pembentukan nilai karakter oleh guru madin terhadap peserta didik diklasifikasikan dalam 5 tahapan yang berurutan dan sesuai usia, yaitu:
- Tahap pertama adalah membentuk adab, antara usia 5 sampai 6 tahun. Tahapan ini meliputi jujur, mengenal antara yang benar dan yang salah, mengenal antara yang baik dan yang buruk serta mengenal mana yang diperintahkan, misalnya dalam agama.
- Tahap kedua adalah melatih tanggung jawab diri antara usia 7 sampai 8 tahun. Tahapan ini meliputi perintah menjalankan kewajiban shalat, melatih melakukan hal yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi secara mandiri, serta dididik untuk selalu tertib dan disiplin sebagaimana yang telah tercermin dalam pelaksanaan shalat mereka.
- Tahap ketiga adalah membentuk sikap kepedulian antara usia 9 sampai 10 tahun. Tahapan ini meliputi diajarkan untuk peduli terhadap orang lain terutama teman-teman sebaya, dididik untuk menghargai dan menghormati hak orang lain, mampu bekerjasama serta mau membantu orang lain.
- Tahap keempat adalah membentuk kemandirian, antara usia 11 sampai 12 tahun. Tahapan ini melatih anak untuk belajar menerima resiko sebagai bentuk konsekuensi bila tidak mematuhi perintah, dididik untuk membedakan yang baik dan yang buruk.
- Tahap kelima adalah membentuk sikap bermasyarakat, pada usia 13 tahun ke atas. Tahapan ini melatih kesiapan bergaul di masyarakat berbekal pada pengalaman sebelumnya. Bila mampu dilaksanakan dengan baik, maka pada usia yang selanjutnya hanya diperlukan penyempurnaan dan pengembangan secukupnya.
Pendidikan yang diajarkan oleh guru di Madrasah merupakan proses untuk membentuk nilai karakter anak yang kurang baik menjadi yang lebih baik. Sehingga diusia sekolah anak harus selalu dikontrol dan diawasi dengan baik. Sehingga pendidikan yang ia peroleh tidak disalahgunakan dan bisa diterapkan serta diaplikasikan dengan baik dan benar. Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran, karena pikiran/IQ, yang di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya.
Program ini kemudian membentuk system kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka perilakunya membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, pikiran harus mendapatkan perhatian serius.[17]
Sedangkan Usaha-usaha guru Madin dalam pembentukan nilai karakter peserta didik adalah:
1. Integrasi Pendidikan Karakter dalam Proses Pembelajaran
Pengintegrasian tersebut dilakukan dengan:
a. Guru mengembangkan dan menyisipkan pendidikan karakter pada materi pelajaran yang sesuai dengan konteks,
b. Pembelajaran berbasis kearifan lokal sebagai alternatif solusi dalam integrasi pada proses pembelajaran. Nilai karakter kearifan lokal memiliki peran strategis dalam pembentukan karakter dan identitas bangsa. Kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri.
2. Pengembangan Budaya Sekolah/Madrasah Berbasis Karakter
Budaya sekolah/Madrasah adalah suasana kehidupan sekolah tempat berinteraksi peserta didik dengan sesamanya. Budaya sekolah/Madrasah memiliki cakupan yang sangat luas, antara lain mencakup kegiatan ritual, harapan, hubungan sosial-kultural, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, maupun interaksi sosial antarkomponen. Pengembangan budaya sekolah/Madrasah yang berorientasi pada pembentukan karakter dapat dilakukan dengan adanya kegiatan: kegiatan rutin, kegiatan spontan, keteladanan, dan pengondisian terhadap proses pembentukan karakter.
3. Usaha Pembentukan Karakter melalui Kegiatan Ekstrakurikuler (Ubudiyah)
Kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan pendidikan yang tercangkup dalam kurikulum yang dilaksanakan di luar mata pelajaran untuk mengembangkan bakat, minat, kreativitas, dan karakter peserta didik di sekolah. Bahwa manfaat ekstrakurikuler dapat menekan angka kriminalitas dan menekan angka pelanggaran norma, serta menambah pengalaman, teman, dan ketrampilan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kegiatan ekstrakurikuler mempunyai kontribusi dalam pembentukan karakter siswa.
4. Usaha Pembentukan Karakter Melalui Kreativitas Siswa
Kreativitas merupakan ranah psikologis yang cukup kompleks dan multidimensi. Lingkungan merupakan basis pertama yang banyak mempengaruhi terhadap kreativitas anak. Pola pendidikan yang berpengaruh terhadap kreativitas siswa adalah dengan tegas yaitu dalam mengarahkan dan memberi contoh yang baik kepada siswa, demokrasi yaitu dengan cara musyawarah dan berdiskusi, preventif dan permisif yaitu berkaitan dengan bakat atau potensi kecerdasan anak dalam hal ini orangtua hanya mengontrol bakat anak sehingga terbangun sikap kreativitas dalam hidup yang penuh dinamika.
5. Kartu Mutabaah (Monitoring) sebagai Usaha Pembentukan Karakter
Dengan kartu Mutabaah dapat bermanfaat untuk meningkatkan diri, memotivasi niat, untuk menanamkan pembiasaan kepada siswa dalam memelihara, menumbuhkan keimanan. Melalui kartu ini, minimal guru dapat memonitoring aktivitas siswa dalam kehidupan sehari-hari dengan bantuan wali murid, teman, dan masyarakat sekitar.
6. Pembentukan Karakter melalui Peningkatan Budaya Baca Tulis
Membaca dan menulis adalah kegiatan yang berhubungan dengan transfer pengetahuan, pengkhayatan kosakata sebagai pintu masuk untuk menjelaskan dunia. Semakin siswa banyak membaca, mereka akan mengetahui dunia kehidupan, tahu asal usul sejarah, dan itu akan membentuk karakter mereka. Karakter individu dibentuk saat orang melakukan tindakan membaca karena kegiatan itu memungkinkan banyak jalan untuk melihat diri sendiri dari membayangkan dunia yang dikisahkan dalam tulisan yang dibaca.[18]
DAFTAR RUJUKAN
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Kencana Prenadamedia grup, Jakarta: 2011
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Media Group, cet III, 2007
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Guru dan Dosen & Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Sistem Pendidikan Nasional, Wipress, 2006,
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2012
Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonasi Guru Sampai UU Sisdiknas, Pena Salsabila: Surabaya,
Ngainun Naim, Menjadi Guru Inspiratif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2013
Retno Listyarti, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, dan Kreatif, Erlangga: Jakarta, 2012
Taufiqi, Religious Parenting Hypnoteaching and Hypnotherapy for Brilliant Kids, CV, Media Sutra Atiga: Malang, 2016.
Mohammad Kosim, Pengantar Ilmu Pendidikan, Pena Salsabila, Surabaya: 2013
Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, Amzah, Jakarta: 2015
Sugiono Wibowo, Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah, Pustaka Pelajar: Jogjakarta, 2013,
Siswanto, Pendidikan Islam dalam Dialektika Perubahan, Pena Salsabila, Surabaya: 2015
Koesoema A., Doni. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Cet. II. Jakarta: Grasindo, 2010
http://www.abdimadrasah.com/2015/05/inilah-tahap-tahap-pembentukan-karakter-siswa.html. pada tanggal 16 Mei 2017 07:05:22 GMT.
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2015/01/17/tahapan-pembentukan-karakter/. pada tanggal 15 Mei 2017 15:57:14 GMT.
http://gozeant.blogspot.com/2014/09/pembentukan-karakter-siswa.html. pada tanggal 14 Mei 2017 09:38:40 GMT.
[1] Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Guru dan Dosen & Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Sistem Pendidikan Nasional, Wipress, 2006, hal. 55.
[2] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Kencana Prenadamedia grup, Jakarta: 2011, Hlm. 349
[3] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Media Group, cet III, 2007, hal. viii-ix.
[4] Ibid., hal x-xi
[5] Ngainun Naim, Menjadi Guru Inspiratif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2013, Hlm, 5
[6] Mohammad Kosim, Pengantar Ilmu Pendidikan, Pena Salsabila, Surabaya: 2013. Hlm. 62
[7] Ibid. Hlm, 63
[8] Siswanto, Pendidikan Islam dalam Dialektika Perubahan, Pena Salsabila, Surabaya: 2015, Hlm. 27
[9] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2012. Hlm, 93.
[10] Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonasi Guru Sampai UU Sisdiknas, Pena Salsabila: Surabaya, 2012, Hlm. 88
[11] Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
[12] Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, Amzah, Jakarta: 2015. Hlm. 19.
[13] Taufiqi Religious Parenting Hypnoteaching and Hypnotherapy for Brilliant Kids, CV Media Sutra Atiga: Malang, 2016, Hlm, 85
[14] Retno Listyarti, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, dan Kreatif, Erlangga: Jakarta, 2012, Hlm,30
[15] Sugiono Wibowo, Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah, Pustaka Pelajar: Jogjakarta, 2013, Hlm. 14
[16] http://www.abdimadrasah.com/2015/05/inilah-tahap-tahap-pembentukan-karakter-siswa.html. pada tanggal 16 Mei 2017 07:05:22 GMT.
[17] https://afidburhanuddin.wordpress.com/2015/01/17/tahapan-pembentukan-karakter/. pada tanggal 15 Mei 2017 15:57:14 GMT.
[18] http://gozeant.blogspot.com/2014/09/pembentukan-karakter-siswa.html. pada tanggal 14 Mei 2017 09:38:40 GMT.
0 komentar:
Posting Komentar