Belajar Blog, Ilmu dan Pengalaman

Sabtu, 27 Oktober 2018

BASIS FILOSOFIS SPIRITUALISASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Sukidi Mulyadi menyatakan bahwa sesungguhnya yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan termasuk pendidikan agam Islam di Indonesia adalah teori behaviorisme, ala Barat. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan ouput yang berupa respon. Oleh karena itu, apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan tanggapan yang diberikan oleh pelajar (respon) haruslah dapat diamati dan diukur.

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pembelajar dalam berperilaku. Pandangan teori behavoristik ini banyak dianut oleh guru dalam merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu, yang kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana dampai kepada yang kompleks. Namun, dari semua teori yang ada, teori BF Skinner-lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori behavioristik.

Teori ini banyak dikritisi karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama.

Pada sisi lain, teori behavioristik ini juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berpikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Dalam aplikasinya pada pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai obyek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, implikasi teori behavioristik dalam proses pembelajaran diaraskan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksprementasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena itu, teori behavoristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dahulu secara ketat.

Lebih jauh, tujuan pembelajaran dalam perspektif teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan belajar sebagai aktivitas mimetic yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang dipelajari dalam bentuk laporan, kuis dan tes sangat ditekankan. Sementara evaluasi pembelajaran lebih menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah dan biasanya menggunakan tes.

Dengan demikian, pembelajaran ala behavioristik sudah sedemikian sangat mengental dalam proses pembelajaran di Indonesia. Dan pembelajaran dengan mainstream behavioristik ini berimbas pula dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam. buktinya adalah sebagai berikut:
  1. Pendidikan agama di sekolah-sekolah adalah pendidikan agama yang bersifat ideologis otoriter.
  2. Perdebatan masalah-masalah penting dari agama-agama tidak pernah transparan demi mendapatkan titik pertemuan bersama.
  3. Pendidikan agama diajarkan secara literer, formalistik sehingga wawasan pluralisme yang menjadi realitas masyarakat kita tidak tampak sekali.
  4. Pengajaran agama yang mencoba menumbuhkan kritisisme dan apresisasi atas agamanya sendiri atau agama orang lain bahkan bisa dikategorikan menyesatkan.
  5. Konstruksi pendidikan agama adalah konstruksi rezim yang secara kaku telah berhasil dirumuskan oleh rezim otoriter orde baru tersebut.
Baca Juga
SPIRITUALISASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan agama dengan bayan-bayang pengaruh behavioristik tersebut harus didekonstruksi dengan filosofi lain yang lebih manusiawi dan lebih menghargai terdidik sebgaai manusia, sehingga nantinya pendidikan agama yang diberikan dilembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal berwajah lebih manusiawi dan tidak lagi berwajah mekanistik sebagaimana disinyaleminkan oleh Sukidi di atas.

Filosofi yang diusulkan sebagai bentuk koreksi terhadap pola pendidikan agama (Islam) model behavioristik adalah sebagai berikut:

Humanisme Teosentris

Pendidikan agama Islam merupakan upaya normatif yang berfungsi untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia, maka dalam mengkonstruksi teori maupun aplikasi pendidikan agama Islam harus didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam. dari sekian banyak nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits, dapat diklasifikasikan pada dua aspek yaitu nilai dasar (intrinsik) dan nilai instrumental. Nilai yang tergolong intrinsik fundamental dan memiliki posisi ideal tersebut adalah Tauhid (Iman Tauhid).

Lebih jauh, Tauhid merupakan nilai intrinsik, nilai dasar dan tidak akan berubah menjadi nilai instrumental karena kedudukkannya paling tinggi. Seluruh nilai yang lain dalam konteks tauhid menjadi nilai instrumental. Secara terminologis, tauhid berarti pengakuan terhadap keesaan Allah. Sikap tauhid tidak cukup hanya percaya kepada adanya Allah (seperti orang Makkah dahulu), tetapi harus pula mempercayai Allah itu dalam kualitasnya sebagai satu-satunya yang bersifat keilahian atau ketuhanan, dan sama sekali tidak memandang adanya kualitas serupa kepada suatu apapun yang lain.

Secara metafisis dan aksiologis tauhid menduduki posisi tertinggi karena dia ada dengan sendirinya secara mutlak dan transenden, sedangkan eksistensi yang lain tergantung oleh-Nya. Bertitik tolak dari pengertian tersebut, tauhid sudah cukup sebagai landasan bagi seluruh aktivitas kehidupan umat manusia termasuk dalam pendidikan, karena ia merupakan nilai yang paling esensial dan sentral serta seluruh gerak hidup muslim tertuju ke sana. Dengan dasar tauhid sesungguhnya menjadi titik poros sentral juga spiritual dari berbagai nilai dalam pendidikan Islam, sehingga dengan dasar demikian, tampak sekali bahwa basis filosofis pendidikan islam adalah teosentrisme (berpusat kepada Tuhan). Namun perlu disadari, bahwa pemusatan kepada Tuhan tersebut, secara subtansial bukan untuk kepentingan Tuhan, tetapi sepenuhnya untuk kepentingan manusia. Karena itu, pendidikan Islam juga berlandaskan pada humanisme (berpusat pada manusia). Dalam konteks demikian, dapat ditegaskan bahwa basis tumpu filosofis pendidikan agama Islam adalah perpaduan antara teosentrisme dan humanisme atau lzim diidentifikasi sebagai humanisme teosentris.

Karena pendidikan Islam juga berlandaskan humanisme, maka nilai-nilai fundamental yang secara universal dan obyektif merupakan kebutuhan manusia perlu dikemukakan sebagai dasar pendidikan agama Islam, meskipun harus digaris bawahi tebal, bahwa posisinya tetap berada dalam tauhid (teosentris) sebagai dasar nilai. Implikasikan dalam pendidikan adalah setiap orang memiliki hak dan pelayanan yang sama dalam pendidikan. Oleh karena itu, implementasi humanisme teosentris tersebut dalam praktik kehidupan dan pendidikan dapat fleksibel atau luwes, selama subtansinya tetap terpelihara yaitu, menunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan karena hakikatnya ajaran Islam memang untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan.

Konstruktivisme

Konstruktivisme secara bahasa berasal dari kata to construct yang artinya membangun, membuat, menciptakan, mendirikan, memunculkan dan merancang. Secara istilah, teori konstruktivisme memandang bahwa indivdu belajar dengan cara mengkonstruksi makna melalui interaksi dan dengan menginterprestasi lingkungannya.

Sehubungan dengan konteks pembelajaran, Leo Sutrisno memandang konstruktivisme sebagai berikut:
  • Tradisi contructivisme memandang belajar sebagai proses aktif seseorang dalam membangun pengetahuan yang bermakna dalam dirinya sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya dengan cara membangun keterkaitan antara pengetahuan yang sedang dihadapi dan pengetahuan yang telah dimiliki.
  • Dalam tradisi konstruktivisme, silabus tidak lagi merupakan daftar materi yang diterapkan sesuai dengan tujuan pembelajaran, tetapi merupakan yang mungkin terbentuk sebagai hasil penggabungan yang kompleks antara; pengetahuan yang telah ada kepercayaan, keterampilan, pengalaman, tantangan dan peluang.
Adapun karakteristik pembelajaran kontruktivisme adalah:
  1. Emphasize problem solving
  2. Recognizes that teaching and learning need to accur in multiple contexts
  3. Assists students in learning how to monitor their learning so that they can become self regulated learners
  4. Anchors teaching in the diverse life contexts of students
  5. Encourages students to learn from each other
  6. Employ authentic assessment
Dengan demikian, pola konstruktivisme pndidikan agama Islam akan menjadi lebih santun dan inklusif. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan agama Islam sudah waktunya didekonstruksi dengan menggunakan paradigm filosofis konstruktivisme, sehingga pendidikan agama menjadi lebih bermakna pada terdidik.

Sumber, Edi Susanto, Spiritualisasi Pendidikan Agama Islam Menuju Keberagamaan Inklusif Pluralistik, Surabaya: Pena Salsabila, 2016
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Label