BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai salah satu suku bangsa terbesar ketiga di Indonesia ( sesudah suku Jawa dan suku Sunda ), suku bangsa Madura mempunyai posisi dan relung yang mapan di Indonesia. Karena tidak banyak kajian akademis mendalam seputar antropologi Madura yang sudah dilakukan orang, maka banyak pertanyaan yang belum bisa dijawab dengan memuaskan. Salah satunya, Mengapa manusia Madura yang berjaya di luar enggan melakukan investasi di pulaunya?.
Menyikapi hal tersebut, masyarakat Madura ingin membuktikan bahwa pulau yang berada di timur laut Pulau Jawa ini, bisa berjaya dan berkembang ditengah-tengah persaingan yang semakin ketat. Jika dikaitkan dengan perilaku manusia Madura, prospek kemajuannya seakan-akan terhalang oleh kekonservativan masyarakat Madura yang sejak semula selalu dilukiskan sebagai orang yang berwatak kasar, keras bicaranya, dan blak-blakan mengutarakan pendapatnya, mudah tersinggung, berdarah panas, beringas, serta tidak tahu adat sehingga tidak bisa bersopan santun. Semuanya itu sebenarnya merupakan pelukisan yang diambil dari sekumpulan cuplikan mengacak dari berbagai peristiwa, tempat, dan waktu yang terpisah-pisah.
Sejarah memang membuktikan bahwa sekelompok etnis Madura termasuk salah satu suku bangsa Indonesia yang tahan bantingan zaman. Mereka mempunyai tingkat adaptasi dan toleransi yang tinggi terhadap perubahan, keuletan kerja tak tertandingi dan keteguhan berpegang pada asas falsafah hidup yang diyakininya. Walaupun diberikan dengan nada sinis, selanjutnya diakui juga bahwa orang Madura memiliki keberanian, kepetualangan, kelurusan, kesetiaan, kehematan ( yang terkadang mengarah kekepelitan ), keceriaan, dan rasa humor yang khas. Memang harus diakui bahwa Pulau Madura sebagai bumi terdapat asal-usul orang
Madura tidaklah merupakan taman firdausi idaman penduduknya, karena pembangunan fisik materiil untuk kesejahteraan jasmani dan rohani masih banyak menunjukkan rumpang yang bisa dan harus disempurnakan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh Jembatan Suramadu terhadap perubahan budaya masyarakat madura?
2. Bagaimanakah Fenomena Pengukuhan Jati diri masyarakat Madura pasca-Suramadu?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengaruh jembatan suramadu terhadap perubahan budaya masyarakat madura
2. Untuk mengetahui Fenomena Pengukuhan Jati diri masyarakat Madura pasca-Suramadu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang Jembatan Suramadu
Jembatan Suramadu yang awal pembangunannya diresmikan oleh mantan Presiden Megawati Soekarno Putri, pada Agustus 2003 lalu dan pembukaannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bulan Juni, 10, 2009, akan menghubungi Pulau Madura (kawasan Bangkalan) dan Pulau Jawa (di Surabaya) dengan lintasan selat Madura. Jembatan Suramadu ini adalah jembatan terpanjang di Indonesia, setidaknya saat ini, karena mempunyai panjang 5.438 m. Yang unik dari jembatan Suramadu ialah adanya tiga bagian yang membagi jembatan ini, yakni jembatan penghubung (approach bridge), jembatan utama (main bridge) dan jembatan layang (causeway) Jembatan Suramadu pada dasarnya merupakan gabungan dari tiga jenis jembatan dengan panjang keseluruhan sepanjang 5.438 meter dengan lebar kurang lebih 30 meter. Jembatan ini menyediakan empat lajur dua arah selebar 3,5 meter dengan dua lajur darurat selebar 2,75 meter. Jembatan ini juga menyediakan lajur khusus bagi pengendara sepeda motor disetiap sisi luar jembatan. Jalan layang atau Causeway dibangun untuk menghubungkan konstruksi jembatan dengan jalan darat melalui perairan dangkal di kedua sisi. Jalan layang ini terdiri dari 36 bentang sepanjang 1.458 meter pada sisi Surabaya dan 45 bentang sepanjang 1.818 meter pada sisi Madura. Jalan layang ini menggunakan konstruksi penyangga PCI dengan panjang 40 meter tiap bentang yang disangga pondasi pipa baja berdiameter 60 cm.
Jembatan penghubung atau approach bridge menghubungkan jembatan utama dengan jalan layang. Jembatan terdiri dari dua bagian dengan panjang masing-masing 672 meter. Jembatan ini menggunakan konstruksi penyangga beton kotak sepanjang 80 meter tiap bentang dengan 7 bentang tiap sisi yang ditopang pondasi penopang berdiameter
180 cm. Jembatan utama atau main bridge terdiri dari tiga bagian yaitu dua bentang samping sepanjang 192 meter dan satu bentang utama sepanjang 434 meter. Jembatan utama menggunakan konstruksi cable stayed yang ditopang oleh menara kembar setinggi 140 meter. Lantai jembatan menggunakan konstruksi komposit setebal 2,4 meter. Untuk mengakomodasi pelayaran kapal laut yang melintasi Selat Madura, jembatan ini memberikan ruang bebas setinggi 35 meter dari permukaan laut.
B. Pengaruh Jembatan Suramadu Terhadap Budaya Masyarakat Madura.
Gokalp dan Pierre, senada dalam memberikan batasan pengertian tentang budaya. Bagi Gokalp, budaya merupakan sesuatu yang sifatnya unik, nasionalis, subjektif dan timbul dengan sendirinya. Dalam The Principles of Turkey, ia menegaskan, budaya sebagai sesuatu yang sifatnya tidak tetap, atau dengan kata lain, dapat saja berubah sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Sebab itu boleh jadi, budaya sangat tergantung pada apa yang Pierre sebut sebagai field (lapangan atau konteks), yang di dalamnya teranyam jaringan makna.
Jaringan makna inilah yang kemudian melahirkan habitus (cara pandang baru), dalam pengertian Pierre, habitus dibentuk oleh; pemikiran dan refleksi individu dan interaksi praksis individu dengan masyarakat di mana ia hidup. Habitus baru sebagai refleksi budaya dapat dilahirkan oleh interaksi masyarakat dan pemaknaan terhadap konteks dan jaringan makna dimana ia berada. Karenanya, budaya baru mungkin saja lahir akibat interaksi dalam konteks yang berbeda.
Kaitannya dengan masyarakat Madura, kini dan nanti, sungguh tak dapat mengelak ekses dari industrialisasi nantinya berupa budaya luar yang pasti akan turut mewarnai. Hal itu cukup Suku bangsa Madura merupakan suku bangsa teberalasan dengan mobilitas yang tinggi dari tenaga kerja yang keluar masuk Madura. Oleh karena itu, masih dalam kaitan pelestarian khasanah budaya dan nilai-nilai luhur tradisi Madura, sejatinya tetap menjadi kearifan lokal yang mesti dipertahankan eksistensinya ditengah merespon tantangan globalisasi sekaligus kebutuhan industrialisasi yang akan tumbuh berkembang di pulau ”Bendoro Gung dan Raden Sagoro kecil” tercatat dalam sejarah, konon, sebagai penduduk pertama pulau Madura.
Dalam pada itu, kondisi Madura yang menunjukkan banyaknya pondok pesantren dengan para kyainya, tetaplah penting menempatkan persoalan Madura ke depan dalam konteks perubahan yang sangat cepat dan globalisasi dunia di mana kita hidup sekarang, ada di dalamnya dan tengah menghadapinya. Sejatinya pesantren, sangat relevan sebagai modal dasar dalam rangka mengakomodasi dan membentengi kembang kempisnya kearifan nilai-nilai budaya lokal dari arus negatif yang akan dimunculkan pasca Suramadu yang tengah berjalan. Terlebih pada saat ini dan dekade-dekade mendatang, kita akan menyaksikan pergulatan budaya Madura yang berjuang menemukan kembali kediriannya. Karena diakui atau tidak, globalisasi yang ditandai dengan pesatnya industrialiasi merupakan fenomena multi dimensi yang meretas batas tidak hanya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan politiklebih daripada itu implikasinya sampai pada tahap mempengaruhi perkembangan dunia sains dan teknologi.
Benar apa yang dikatakan Azyumardi Azra, cendikiawan muslim tersebut mempertegas; bahwa dalam era globalisasi dan modernisasi ini perubahan dramatis mencakup segala aspek kehidupan dapat terjadi seiring tumbuhnya masyarakat industri dimana lazimnya kerap ditandai pergeseran nilai-nilai budaya dan agama. Karena itu, pembangunan di Madura pasca Suramadu, hendaknya tetap berpegang teguh pada kepatutan khasanah budaya lokal dan aspirasi sosial masyarakat Madura. Serta aspek nasionalis keindonesian tak boleh tercerabut dari akar sebab pembangunan.
Arus modernisasi lambat laun telah mengerus nilai-nilai budaya masyarakat Madura. Salah satu contohnya, bahasa Madura yang menjadi salah satu unsur penting dari kebudayaan Madura, nyaris tidak dipakai lagi dalam kahidupan sehari-hari. Padahal, dalam konsep kebudayaan, bahasa menunjukkan bangsa. Pembangunan jembatan Suramadu akan semakin membuka Madura dari dunia luar. Arus barang, jasa, juga orang akan lebih padat, yang bisa membawa peradaban baru masuk Madura. Tentunya, itu adalah tantangan bagi masyarakat Madura untuk berusaha agar kulturnya tidak terkikis. Penyelamatan kebudayaan Madura sungguh sangat besar dengan berbagai kompleksitas diatas.
Penerimaan terhadap paradigma di atas, saya rasa menjamin pada proses industrialisasi di Madura sebagaimana cita-cita bersama. Dan, lebih lagi, tidak melupakan budaya serta karakter masyarakat Madura yang sejauh ini sudah diasosiasikan sebagai masyarakat yang religius agamis (Islam). Islam bagi masyarakat Madura merupakan nafas dan telah melahirkan budaya dan tradisi yang menyentuh setiap relung dan ruang kehidupannya.
Sesungguhnya, jauh sebelum manusia menghawatirkan segala ekses negatif yang dimunculkan oleh zaman modernisasi dan globalisasi, dalam Islam, secara eksplisit telah diserukan; ”Belajarlah tentang zamanmu, siapa saja yang mengenal sifat-sifat dari zamannya dan mengetahui pengetahuan tentang seluk-beluknya, maka niscaya tak akan sekali-kali dikejutkan oleh hal-hal yang membingungkan”. Dengan bahasa kekinian, jika ingin survive dan berjaya ditengah perkembangan dunia yang kian kompetitif, maka peningkatan terhadap mutu Sumber Daya Manusia menjadi sesuatu yang harus diprioritaskan, sehingga dapat bermain peran dalam persaingan global. Bagi kita, sungguhpun gelombang globalisasi akan dan telah mendatangkan tantangan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana dapat menangkap peluang.
C. Fenomena Masyarakat Madura Dalam Pengukuhan Jatidiri Pasca Suramadu
Orang yang tidak pernah ke Madura, memiliki gambaran yang kelam tentang orang Madura dengan diliputi penuh rasa was-was, karena benak mereka dihantui citra orang Madura yang serba tidak bersahabat. Akan tetapi kemudian setelah berada di Madura, ternyata hampir semuanya berubah 180 derajat pandangannya tentang orang Madura. Mereka dengan penuh ketulusan mengatakan bahwa orang Madura ternyata santun, ramah, akrab dan hangat menerima tamu. Citra negatif ini pula yang kemudian melahirkan sikap pada sebagian orang Madura, utamanya kaum terpelajar, merasa malu menunjukkan diri sebagai orang Madura, karena Madura identik dengan keterbelakangan atau kekasaran Keadaan ini harus diakhiri.
Membangun citra positip, memang tidak bisa serta merta, perlu proses, akan tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Itupun harus dimulai sekarang juga, agar keadaan tidak semakin parah. Hal yang sangat penting adalah adanya kesadaran bahwa membangun citra positip harus dilakukan sendiri oleh orang Madura, sebagaimana semboyan kelompok Pakem Maddhu, Pamekasan yang berbunyi: “Coma reng Madhura se bisa merte bhasa Madhura”. Jembatan Suramadu tidak hanya sekadar jembatan secara fisik. Ia telah menjelma jembatan yang menghubungkan berbagai dimensi masyarakat Madura dengan dunia luar. Dengan terbentangnya Jembatan Suramadu, masyarakat Madura tidak lagi inferior. Menurut pendapat D. Zawawi imron istilah toron (:turun) yang digunakan orang-orang yang akan kembali ke Madura dan onggah (:naik) yang disematkan pada orang-orang yang akan bepergian ke Surabaya, kini telah terjembatani kesenjangannya. Tidak ada lagi naik-turun antara Surabaya-Madura. Yang ada hanya kesetaraan, yang dihubungkan Jembatan Suramadu. Selain itu, Jembatan Suramadu ini, dalam pengamatan beberapa pakar, diproyeksikan akan menjadi penghubung antara masyarakat Madura dan non-Madura dalam berbagai dimensi. Jembatan Suramadu akan menjelma jembatan industri, jembatan akulturasi budaya, jembatan percepatan ekonomi, jembatan modernisasi. Lalu bagaimanakah wajah Madura pasca-Suramadu ini? Bagimanakah potret budaya Madura, sebagai jati diri masyarakat Madura pasca dioperasikannya jembatan ekspansi multi-dimensi ini?
Ada enam persoalan paradoks yang dihadapi bangsa ini dalam percaturan peradaban digital ini.
a. Paradoks pengetahuan, yaitu paradoks antara pengetahuan/sampah pengetahuan.
b. Ketelanjangan budaya (cultural transparency).
c. Budaya ekses (culture of excess).
d. Ketakpastian etis (ethical indelerminacy).
e. Kesenjangan digital (digital discrepancy).
f. Kegamangan seni (dizziness of arts).
Dari berbagai tantangan yang mendasar tersebut, bahwa pembentukan karakter jati diri lebih menentukan sebuah masyarakat bisa bertahan dalam percaturan global ini. Dengan kata lain, di samping kemampuan skill individu yang mesti dikuasai oleh setiap individu masyarakat Madura, terutama generasi mudanya, apresiasi nilai-nilai budaya harus ditekankan sebagai transformasi jari diri. Dengan kata lain, kegamangan dan kehampaan serta kebrutalan masyarakat modern tidak dapat dipungkiri sebagai akibat hilangnya nilai-nilai budaya jati dirinya. Tak bisa dipungkiri keterpurukan suatu bangsa mula-mula disebabkan karena hilangnya jati diri mereka.
Turki pasca modernisasi Kemal Attarturk hanya menyisakan kegelisahan, kegalauan seperti kita lihat dalam karya-karya Orhan Pamuk. Sebaliknya, Jepang mampu bangkit dan maju pesat pasca perang dunia II hanya berbekal dengan spirit samurainya. Indonesia pun terkatung dalam dilema modernisasi. Banyak yang terkuras dan tercerabut demi dengung kemajuan, tapi tingkat kesejahteraan masih dalam konsep ‘berusaha’. Kesenjangan sosial semakin menjurang saja. Yang paling akut krisis dan chaos sosial akibat modernisasi semakin menjadi-jadi.
Mengingat hal paradoks modernisasi tersebut, perlu kiranya disodorkan sebuah konsep pembangunan Madura ke depan. Sebuah arah gerak maju modernisasi demi kesejahteraan masyarakat. Bukan ‘penghancuran’ dan penghisapan sari madu Madura demi modernisasi. Modernisasi dengan birahi pembangunannya, dengan retorika elektroniknya memang tidak dapat ditolak. Tapi demi keberlangsungan masyarakat Madura untuk sekian waktu yang tidak ditentukan, perlu kiranya menata ‘birahi’ kemajuan yang paradoks ini. Dengan kata lain, pemodernisasian Madura seyogyanya memiliki orientasi yang jelas dan terarah. Jelas untuk mengembangkan dan memajukan Madura. Terarah untuk memerhatikan kemajuan pada dua sisi.
a) Pertama sisi fisik. Sisi ini lebih menekankan pada pembangunan struktur dan infrastruktur sosial-budaya-ekonomi-politik.
b) Kedua, sisi psikis. Pembangunan Sisi ini mengupayakan terciptanya mental dan jati diri masyarakat Madura Lebih jauh, pembanguan psikis ini, tentunya terletak sejauh mana transformasi kultur budaya msyarakat dari generasi ke generasi berikutnya.
Dengan kata lain, dalam mempersiapkan masyarakat Madura untuk berlaga di arena modernisasi, maka pelestarian dan pengapresiasian budaya lokal merupakan modal utama. Agenda apresiasi budaya lokal Madura ini selain membekali setiap individu dengan kesadaran realitas sejarahnya, juga bertujuan untuk menyelamatkan khazanah kebudayaan bangsa
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Suramadu ini adalah jembatan terpanjang di Indonesia, setidaknya saat ini, karena mempunyai panjang 5.438 m. Yang unik dari jembatan Suramadu ialah adanya tiga bagian yang membagi jembatan ini, yakni jembatan penghubung (approach bridge), jembatan utama (main bridge) dan jembatan layang (causeway).
2. Budaya merupakan sesuatu yang sifatnya unik, nasionalis, subjektif dan timbul dengan sendirinya.
3. Membangun citra positip, memang tidak bisa serta merta, perlu proses, yang sangat penting adalah adanya kesadaran bahwa membangun citra positip harus dilakukan sendiri oleh orang Madura, sebagaimana semboyan kelompok Pakem Maddhu, Pamekasan yang berbunyi: “Coma reng Madhura se bisa merte bhasa Madhura”.
B. Saran
mempersiapkan masyarakat Madura untuk berlaga di arena modernisasi, dan pengapresiasian budaya lokal untuk menyelamatkan khazanah kebudayaan bangsa.
DAFTAR RUJUKAN
Zawawi Imron, “Suramadu”, Jawa Pos, (14-Juni-2009)., hlm. 4.
Pierre Bourdiue, dalam Izak Y. M. Lattu, Budaya Damai dalam Masyarakat Multikultural.
http://www.unesco.org/cpp/uk/declarations/2000/h tm.
Muthmainnah, Jembatan Suramadu, (Yokyakarta: LPPSM, 1998).
Abdurrachman, Sejarah Madura; Selayang Pandang, (Sumenep: tanpa penerbit, 1988)., cetakan ke- 3., hlm. 2-4.
Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006)., hlm. xxiii.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)., hlm. 44.
Ziya Gokalp, dalam Ilham Bustomi, ”Agama dan Nasionalisme; Studi Terhadap Pemikiran Ziya Gokalp”, Komonitas; Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, vol. 26, No. 2, Desember 2008., hlm. 45.