Belajar Blog, Ilmu dan Pengalaman

Sabtu, 02 April 2016

Budaya Masyarakat Madura suatu sistem kerabatan

 Budaya Masyarakat Madura suatu sistem kerabatan
Kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orang tua dan sebaliknya kedudukan anak terhadap kerabat yang lain, serta masalah perwalian anak[1]. Masyarakat adat madura memiliki suatu sistem kekerabatan yang khas dan unik. Sistem kekerabatan itu menjadi pembeda dengan yang lainnya.

sistem Kekerabatan Masyarakat Madura.
Dalam sistem kekerabatan masyarakat madura dikenal tiga kategori sanak keluarga atau kerabat, yaitu:
1. Taretan Dalem.
2. Taretan Semma'.
3. Taretan Jhau.

Sedangkan dalam sistem sosialnya, masyarakat Madura mengenal dua kepemimpinan yang menjadi panutan dan harus dipatuhi apa yang menjadi perintahnya. Adapun dari kedua pemimpin tersebut adalah, ialah:
1. Pemimpin formal atau kepala desa yang sering disebut dengan istilah setempat dengan Kalebun..
2. Pemimpin nonformal atau yang disebut dengan Keyaeh. Keyaeh atau pemangku adat merupakan pemimpin bersifat non formal. Meskipun nonformal, kharismatik kepemimpinannya cukup penting dan vital bagi berlangsungnya kehidupan adat istiadat. Hal ini karena keyaeh memegang kedudukan penting dalam setiap kegiatan adat, utamanya upacara adat yang bernuansa agamis.

Kekerabatan mempunyai hubungan hukum yang didasarkan pada hubungan darah, antara lain antara orang tua dengan anak-anaknya. Juga karena hukum yang berhubungan dengan keturunan yang bergandengan dengan ketunggalan leluhurnya, tetapi hukum tersebut tidak semuanya sama diseluruh daerah.

Menurut Prof. Bushar Muhammad,SH, keturunan dapat bersifat :
Lurus. Apabila seseorang merupakan langsung keturunan dari yang lain
Menyamping atau bercabang. Apabila antara kedua orang atau lebih terdapat adanya ketunggalan leluhur.[2].

Keunikan sistem Kekerabatan Masyarakat Madura.
Istilah unik menunjuk pada pengertian leksikal bahwa entitas etnik madura merupakan “komunitas tersendiri” yang mempunyai karakteristik berbeda dengan etnik lain dalam bentuk maupun jenis etnografinya[3]. Keunikan budaya Madura itu tampak tidak sejalan dengan kuantitas komunalnya yang menyebar ke berbagai daerah di Nusantara. Diantara keunikan pola/sistem kekerabatan masyarakat madura, adalah:

Kekerabatan Masyarakat Madura Di Rantau.
Masyarakat madura ketika di rantau pun, mereka akan merasa bahwa yang namanya orang madura dari belahan manapun adalah satu saudara. Fakta ini terkadang menimbulkan penafsiran, seolah orang madura ekslusif dan enggan berdampingan dengan etnis lain. Lambat laun, pola pemukiman mereka tak jauh berbeda dari substansi Taneyan Lanjhang. Mereka juga suka menggelar perkumpulan-perkumpulan sebagai wadah silaturrahmi yang seperti di kampung asalnya, yang dalam beberapa tempat perkumpulan ini diberi nama Kambrat. Salah satu upaya yang dilakukan masyarakat madura untuk mempererat dan melestarikan tali kekerabatan yang disebut dengan mapolong tolang adalah menikahkan anaknya dengan anak kerabatnya[4].

Religiusitas Masyarakat Madura.
Sistem kekerabatan masyarakat madura yang kuat seperti ini tak lepas dari nilai kehidupan yang telah dijalani, yang tak lepas dari nilai religius yang tercermin dalam falsafah hidup "Abhantal syahadat, asapo' iman, apajung rahmatah Alloh"[5]. Agama bagi orang Madura adalah bingkai dalam kehidupan. Hal itu terlihat dalam pola taneyan lanjhang yang di dalamnya terdapat langgar sebagai tempat shalat dan sebagai tempat menerima tamu laki-laki.

DAFTAR KAJIAN
1. Hilman Hadikusuma (2003), Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar Maju.
2. Bushar Muhammad (2006), Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, PT Pradnya Paramita.
3. Latief Wiyata, Carok ; Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura(Yogyakarta: LKiS, 2006).
4. Kuliah Tarikh Tasyri' DR.M.Zaini,MA, di STAIN Pamekasan, 16 Mei 2015.


[1] Hilman Hadikusuma (2003), Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar Maju.
[2] Bushar Muhammad (2006), Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, PT Pradnya Paramita.
[3] Hilman Hadikusuma (2003), Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar Maju.
[4] Latief Wiyata, Carok ; Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura(Yogyakarta : LKiS,
2006)
[5] Kuliah Tarikh Tasyri' DR.M.Zaini,MA, di STAIN Pamekasan, 16 Mei 2015.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Label