Belajar Blog, Ilmu dan Pengalaman

Sabtu, 14 Maret 2015

METODOLOGI STUDI ISLAM

bayani adalah pendekatan dengan cara menganilis teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : teks nash (al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa karya para ulama. Adapun corak berpikir yang diterapkan dalam ilmu ini cenderung deduktif, yakni mencari (apa) isi dari teks (analisis content)
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum -hukum logika. Maksudnya bahwa untuk mengukur atau benarnya sesuatu adalah berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa teks wahyu suci, yang memuncukan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan empiris yang berkaitan dengan alam, social, dan humanities.
irfani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan 'arifun untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan 'ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur'an.
Dalam teori epistemologi terdapat beberapa aliran. Aliran-aliran tersebut mencoba menjawab pertanyaan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan. Pertama, golongan yang mengemukakan asal atau sumber pengetahuan yaitu aliran:
1. Rasionalisme, yaitu aliran yang mengemukakan, bahwa sumber pengetahuan manusia ialah pikiran, rasio dan jiwa.
2. Empirisme, yaitu aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari pengalaman manusia itu sendiri, melalui dunia luar yang ditangkap oleh panca inderanya.
3. Kritisme (transendentalisme), yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari dunia luar dan dari jiwa atau pikiran manusia sendiri.
Kedua, golongan yang mengemukakan hakikat pengetahuan manusia inklusif di dalamnya aliran-aliran:
1. Realisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia adalah gambaran yang baik dan tepat tentang kebenaran. Dalam pengetahuan yang baik tergambar kebenaran seperti sesungguhnya.
2. Idealisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan hanyalah kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kanyataan yang diketahui manusia semuanya terletak di luar dirinya.[6]
Dengan demikian, pengertian epistemologi keilmuan Islam adalah merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan yang menjelaskan tentang keilmuan Islam dan beberapa aspek yang termasuk di dalamnya yang diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan yang meliputi sumber dan sarana untuk mencapai ilmu pengetahuan.

B. Model Pemikiran Epistemologi Keilmuan Islam
1. Model Berpikir Bayani
Secara bahasa, bayani bermakna sebagai penjelasan, pernyataan, ketetapan.[8] Sedangkan secara terminologis, bayani berarti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma’, dan ijtihad. Jika dikaitkan dengan epistemologi, maka pengertiannya adalah studi filosofis terhadap struktur pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai sebuah kebenaran mutlak. Adapun akal hanya menempati tingkat sekunder dan bertugas hanya untuk menjelaskan teks yang ada.
Ditinjau dari perspektif sejarah, bayani sebetulnya sudah dimulai sejak pada masa awal Islam. Hanya saja pada masa awal ini, yang disebut dengan bayani belum merupakan sebuah upaya ilmiah dalam arti identifikasi keilmuan dan peletakan aturan penafsiran teks-teksnya, tetapi baru sekedar upaya penyebaran tradisi bayani saja.
Dalam tradisi keilmuan Islam, corak bayani sangat dominan. Dengan segala karakteristiknya, corak bayani bukanlah sebuah corak yang sempurna. Salah satu kelemahannya adalah kurang peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat konstektual. Padahal, jika ingin mengembangkan pola berfikir bayani, maka mau tidak mau harus menghubungkan dengan pola berfikir irfani dan burhani. Jika masing-masing tetap kokoh pada pendiriannya dan tidak mau membuka diri, berdialog, dan saling melengkapi satu sama lain, sulit rasanya studi Islam dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman mampu menjawab tantangan kontemporer yang terus berkembang tiada henti.
Dalam tradisi bayani, otoritas kebenaran terletak pada teks (wahyu). Sementara akal menempati posisi sekunder. Tugas akal dalam konteks epistemologi bayani adalah menjelaskan teks-teks yang ada. Sementara bagaimana bagaimana implementasi ajaran teks tersebut dalam kehidupan konkret berada di luar kalkulasi epistemologi ini.[9]
Epitemologi Bayâni adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan secara umum menjadi dua, yakni:
a. Teks nash ( Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW)
b. Teks non nash berupa karya para ulama
Obyek kajian yang umum dengan pendekatan bayani adalah :
a. Gramatika dan sastra (nahwu dan balagah)
b. Hukum dan teori hukum (fiqh dan ushul fiqh)
c. Filologi
d. Teologi, dan
e. Dalam beberapa kasus di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadist.[10]
Corak berfikir yang diterapkan dalam epistemologi bayani ini cenderung deduktif, yakni mencari (apa) isi dari teks (analisis content).
Sejak dari awal, pola pikir bayani lebih mendahulukan qiyas dan bukam mantiq lewat silogisme dan premis-premis logika. Epistemologi tekstual-lughawiyah lebih diutamakan daripada epistemologi kontekstual-bahtsiyyah maupun spiritualitas-irfaniyyah-batiniyyah. Di samping itu, nalar epistemologi bayani selalu mencurigai akal pikiran, karena dianggap akan menjauhi kebenaran tekstual. Sampai-sampai muncul kesimpulan bahwa wilayah kerja akal pikiran perlu untuk dibatasi sedemikian rupa dan perannya dialihkan menjadi pengatur dan pengekang hawa nafsu, bukannya untuk mencari sebab dan akibat lewat analisis keilmuan yang akurat.
Sistem epistemologi bayani ini menghasilkan suatu pakem kombinatif untuk menafsirkan wacana dan menentukan sarat-sarat produksi wacana. Konsep dasar sistem ini menggabungkan metode fiqh seperti yang dikembangkan oleh asy-Syafi’i, dengan metode retorika seperti yang dikembangkan oleh al-Jahiz. Sistem ini berpusat pada hubungan antara ungkapan dan makna.
Hasil akhirnya adalah sebuah teori pengetahuan yang dalam setiap levelnya bersifat bayani. Dalam logika internalnya, teori pengetahuan (epistemologi) ditentukan oleh konsep bayani yang termasuk gaya bahasa puitik, ungkapan oral, pemahaman, komunikasi, dan penangkapan secara penuh. Hal yang sama juga terdapat dalam ranah materi pengetahuan, yang terutama disusun dari al-Qur’an, hadits, tata bahasa, fiqh, serta prosa dan puisi Arab. Begitu juga dengan ranah ideologi, karena kekuatan otoritatif yang menetukan, yaitu dogma Islam, ada di belakang ranah ini. Oleh karena itu, sejak awal ada batasan atau larangan tertentu untuk menyamakan pengetahuan dengan keimanan kepada Tuhan. Sistem ini juga diterapkan dalam ranah epistemologi, di mana manusia dipahami sebagai makhluk yang diberkati kapasitas bayan dengan dua tipe “nalar”; pertama dalam bentuk bakat, dan yang lain adalah hasil pembelajaran.
Al-Jabiri menjelaskan bahwa sistem bayani dibangun oleh dua prinsip dasar. Pertama, prinsip diskontinyuitas atau keterpisahan, dan kedua, prinsip kontingensi atau kemungkinan. Prinsip-prinsip tersebut termanifestasi dalam teori substansi individu yang mempertahankan bahwa hubungan substansi sebuah individu (tubuh, tindakan, sensasi dan apapun yang terbentuk di dalamnya) didasarkan atas hubungan dan asosiasi yang kebetulan saja, tapi tidak memengaruhi dan berinteraksi. Teori ini sesungguhnya menafikan teori kausalitas atau ide tentang adanya hukum alam.[11]
2. Model Berpikir Burhani
Kata burhani diambil dari bahasa Arab, al-burhan yang berarti argumentasi yang kuat dan jelas. Sedangkan kata yang memiliki makna sama dengan al-burhan dalam bahasa Inggris adalah demonstration. Arti dari kata demonstration adalah berfikir sesuai dengan alur tertentu atau penalaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, pengetahuan demonstratif merupakan pengetahuan yang integratif, sistemik, dan sistematis. Ciri daripada pengetahuan demonstratif ada tiga. Pertama, pokok bahasannya jelas dan pasti. Kedua, universal dan tidak partikular. Ketiga, memiliki peristilahan teknis tertentu.
Menurut Abid al-Jabiri, burhan dalam logika adalah aktivitas intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi dengan cara konklusi atau deduksi. Sedangkan dalam pengertian umum, burhan merupakan semua aktivitas intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi.[12] Istilah burhani juga dipakai dalam pengertian yang cukup beragam. Beberapa di antaranya; (1) cara atau jenis argumentasi; (2) argumen itu sendiri; (3) bukti yang terlihat dari suatu argumen yang menyakinkan.
Dalam bahasa lain, metode burhani atau demonstratif merupakan sebentuk inferensi rasional, yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan konklusi yang bernilai. Metode burhani atau demonstratif ini berasal dari filosof terkenal Yunani, yaitu Aristetoles. Apa yang dimaksudkan oleh Aristetoles dengan metode demonstratif ini adalah silogisme ilmiah, yaitu silogisme yang apabila seseorang memilikinya, maka orang tersebut akan memiliki pengetahuan. Menurut Aristetoles, silogisme merupakan seperangkat metode berfikir yang dengan silogisme tersebut, seseorang dapat menyimpulkan pengetahuan baru yang diperolehnya dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya.
Metode burhani pada dasarnya merupakan logika, atau metode penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari suatu pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan memerhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah.
Tidak semua silogisme dapat disebut denga burhani atau demonstratif. Sebuah silogisme baru dikatakan sebagai demonstratif apabila premis-premisnya didasarkan bukan pada opini, melainkan didasarkan pada kebenaran yang telah teruji atau didasarkan kepada kebenaran utama. Ditinjau dari perspektif metodologi, burhani menggunakan logika (al-maqayis) sebagai metodologi.[13]
Sementara dalam pandangan filosof al-Farabi, metode al-burhaniyah (demonstrasi) merupakan metodologi yang super canggih dibandingkan dengan metodologi-metodologi lainnya, seperti metodologi dialektika (jadaliyah), dan metodologi retorika (khatabbiyah). Jika metode retorika dan dialektika dapat dikonsumsi oleh masyarakat umum, hal ini tidak berlaku bagi metode burhani. Burhani hanya mampu dikonsumsi oleh orang-orang tertentu.
Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut al-‘Ilm al-Husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematiskan hanya melalui premis-premis logika. Metode burhani ini biasa digunakan dan dijumpai dalam filsafat paripatetik yang secara eksklusif mengandalkan deduksi rasional dengan menggunakan silogisme yang terdiri dari premis-premis dan konklusi. Metode ini dikembangkan oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
Berbeda dengan epistemologi bayani, epistemologi burhani menempatkan akal dalam otoritas kebenaran. Jika dalam epistemologi bayani setiap proses pemikiran pasti berangkat dari teks menuju makna, pada epistemologi burhani justru sebaliknya, yaitu makna lebih dulu lahir dari kata-kata.[14]
Maksud epistemologi Burhani adalah, bahwa untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiyah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa dasar teks wahyu suci, yang memunculkan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan empiris; alam, sosial, dan humanities. Artinya ilmu diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di laboratorium maupun di alam nyata, baik yang bersifat sosial maupun alam. Corak berfikir yang digunakan adalah induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil penelitian empiris.[15]
3. Model Berpikir Irfani
‘Irfan dalam bahasa Arab semakna dengan ma’rifah yang diartikan dengan al-‘ilm. Di kalangan sufi, kata ‘irfan dipergunakan untuk menunjukkan jenis pengetahuan yang tertinggi, yang dihadirkan ke dalam qalb dengan cara kasyf atau ilham. Di kalangan kaum sufi sendiri, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan langsung tentang Tuhan berdasarkan atas wahyu atau petunjuk Tuhan.
Dalam konteks pemaknaan terhadap ma’rifah, klasifikasi pengetahuan yang dilakukan oleh Dzu al-Nun al-Mishri menempatkan ma’rifah sebagai salah satu jenis pengetahuan khusus di kalangan sufi. Pengetahuan jenis ini, dalam pandangan Dzu al-Nun, yang disebut pengetahuan hakiki. Dzu al-Nun membagi pengetahuan kepada tiga jenis yakni; (1) pengetahuan orang awam yang menyatakan bahwa Tuhan itu Esa dengan perantaraan ucapan syahadat, (2) pengetahuan ulama yang menyatakan bahwa Tuhan itu Esa menurut logika akal, dan (3) pengetahuan para sufi yang menyatakan bahwa Tuhan itu Esa dengan perantaraan hati nurani. Pengetahuan jenis pertama dan kedua baru tahap ilmu, sedangkan pengetahuan ketiga adalah pengetahuan hakiki, yaitu ma’rifat.[16]
Irfani adalah pendekatan yang bersumber pada intuisi (kasf/ilham). Dari irfani muncul illuminasi. Prosedur penelitian irfaniah berdasarkan literatur tasawuf, secara garis besar langkah-langkah penelitian irfaniah sebagai berikut:
a. Takhliyah : pada tahap ini, peneliti mengkosongkan (tajarrud) perhatiannya dari makhluk dan memusatkan perhatian kepada (tawjih).
b. Tahliyah : pada tahap ini, peneliti memperbanyak amal sholeh dan melazimkan hubungan dengan al-Khaliq lewat ritus-ritus tertentu.
c. Tahliyah : pada tahap ini, peneliti menemukan jawaban batiniah terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Paradigma irfaniyah juga mengenal teknik-teknik yang khusus. Ada tiga teknik penelitian irfaniyah :
a. Riyadah : rangkaian latihan dan ritus dengan penahapan dan prosedur tertentu.
b. Tariqah : di sini diartikan sebagai kehidupan jama’ah yang mengikuti aliran tasawuf yang sama.
c. Ijazah : dalam penelitian irfaniah, kehadiran guru sangat penting.
Share:

Kamis, 05 Maret 2015

AsSunnah Dalam Tinjuan Pengantar Ilmu Hadits

BAB I


PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah


Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Selain sebagai sumber, Hadits juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Al-Qur’an. Berdasarkan hal tersebut, maka kajian tentang Hadits memiliki kedudukan yang penting di dalam studi ilmu-ilmu sumber dalam Islam.


Sejarah mencatat bahwa dari tahun ke tahun, sepeninggalnya Nabi Muhammad SAW. Perhatian terhadap Hadits terus berkembang. Dimulai periwayatan secara lisan, ditulis serta dibukukan, meng-isnad dan sampai pada klasifikasi dan susunan dari kitab-kitab Hadits. Seiring dengan perkembangan hal di atas, muncul pula Hadits-Hadits palsu, yang melatarbelakangi kegiatan pemeliharaan Hadits, sehingga sangat perlu dilakukan studi Hadits.


Keberadaan Hadits, di samping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik, dan tiada henti-hentinya. Penelitian terhadap hadits baik dari segi keotentikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalamnya telah banyak dilakukan para ahli di bidangnya.


Istilah Hadits dan Sunnah telah digunakan secara luas dalam studi keislaman untuk merujuk kepada teladan dan otoritas Nabi Muhammad SAW atau sumber kedua hukum Islam setelah Al-Qur’an. Meskipun begitu, pengertian kedua istilah tersebut tidaklah serta merta sudah jelas dan dapat dipahami dengan mudah. Para ulama dari masing-masing disiplin ilmu menggunakan istilah tersebut didasarkan pada sudut pandang yang berbeda sehingga mengkonskuensikan munculnya rumusan pengertian keduanya secara berbeda pula.


Rumusan Masalah


Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka dalam makalah ini penulis akan merumuskan permasalahan sebagai berikut:


Apa pengertian As-Sunnah?

Apa pengertian Al-Hadits?

Apakah kata As-Sunnah dan Al-Hadits merupakan kata Murodif/sinonim?

Bagaimanakah Model-model penelitian Al-Hadits?


Tujuan Penulisan Makalah


Adapaun tujuan penulisan makalah di atas adalah:


Untuk mengetahui pengertian As-Sunnah.

Untuk mengetahui pengertian Al-Hadits.

Untuk mengetahui As-Sunnah dan Al-Hadits merupakan kata murodif/sinonim.

Untuk mengetahui Model-model penelitian Al-Hadits.


BAB II


PEMBAHASAAN


Pengertian Sunnah


Menurut bahasa الطّريقةُ المسلوكةُ/الطريقةُ المتادّةُ حسنةً كانت أم سيّئةً Sunnah bermakna jalan yang ditempuh, baik terpuji atau tidak, sesuatu yang sudah tradisi atau menjadi kebiasaan dinamai Sunnah walaupun tidak baik. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:


من سنَّ سنّةً حسنةً فله اجرها واجر من عمل بها الى يوم القيامة، ومن سنّ سنّةً سيّئةً فعليه وزرها ووزر من عمل بها الى يوم القيامة {متفق عليه}.


Artinya : “Barang siapa yang memelopori/mengerjakan suatu pekerjaan yang baik, maka baginya mendapat pahala atas perbuatan itu dan pahala orang-orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat. Dan barang siapa memelopori/mengerjakan suatu perbuatan yang jahat, maka ia berdosa atas perbuatannya itu, dan menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat”. (HR. Bukhari dan Muslim)


Sedangkan menurut istilah kalangan ahli agama di dalam memberikan pengertian Sunnah berbeda-beda, sebab para Ulama memandang Sunnah dari segi yang berbeda-beda pula diantaranya adalah:


a) Ulama Hadits memberikan pengertian Sunnah sebagai berikut:


ما نقل عن النبيّ صلّى الله عليه وسلم من قولٍ أوفعلٍ أوتقريرٍ أوغيرِ ذلك.


Segala yang dinukilkan Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrirnya atau selain itu. Jadi menurut pengertian ini, Sunnah meliputi biografi Nabi, sifat-sifat Nabi yang berupa fisik, maupun yang mengenai phychis dan akhlak Nabi dalam keadaan sehari-harinya, baik sebelum atau sesudah diangkat sebagai Rasul.


b) Ulama Ushul Fiqh memberikan pengertian Sunnah sebagai berikut: “segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum”.


c) Ulama Fiqh memberikan pengertian Sunnah sebagai berikut: “perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardhu. Atau dengan kata lain: Sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan, dan tidak dituntut apabila ditinggalkan.


d) Ulama Dakwah memberikan pengertian Sunnah sebagai kebalikan dari bid’ah.


Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena Ulama Hadits memandang Nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang sempurna, yang dapat dijadikan suri teladan bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab:21.


لقد كان لكم فى رسول الله اسوة حسنة {الأحزاب:21}.


Oleh karena itu para Ulama Hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW, baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat Islam maupun tidak. Sedang menurut Ulama Ushul Fiqh memandang Nabi Muhammad SAW sebagai Musyarri’ (Pembuat undang-undang/wetgever) di samping Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Hasyr:7


وما اتكم الرّسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا {الحشر:7}.


Pengertian Hadits.


Secara etimologis, Hadits berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan yang memiliki makna bermacam-macam diantaranya sebagai berikut:


- Jadid lawan qadim yang baru.


- Qarib yang dekat yang belum lama terjadi


- Khabar sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang yang lain.


Dari ketiga arti kata Al-Hadits tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah pengertian ketiga, yaitu sesuatu yang diperbincangkan atau Al-Hadits dalam arti Al-Khabar. Hadits dengan pengertian Al-Khabar ini banyak dijumpai pemakaiannya dalam Al-Qur’an, diantaranya terdapat dalam surah (Al-Thur,52:34, QS Al-Kahfi, 18:6, dan QS Al-Dhuha, 93:11).


فليأتوا بحديثٍ مثله إن كانوا صدقين {الطور:34}


Artinya: “Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (berita) yang serupa dengan Al-Qur’an itu jika mereka mengaku orang-orang yang benar”.


فلعلّك باخعٌ نفسك على ءاثارهم إن لم يؤمنوا بهذا الحديث أسفًا {الكهف:6}


Artinya: “Maka Apakah barangkali kamu akan membunuh dirimu, karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada berita ini”.


وامّا بنعمة ربّك فحدّث {الضحى:11}


Artinya: “dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu mengatakannya (sebagai rasa syukur)”. Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas, kita dapat memperoleh suatu pengertian dari segi bahasa bahwa Hadits lebih ditekankan pada arti berita atau khabar, sungguh pun kata tersebut dapat berarti sesuatu yang baru yang menunjukkan waktu yang dekat.


Sedangkan pengertian Hadits secara terminologi menurut ahli Hadits adalah: اقوله صلّى الله عليه وسلم وأفعاله واحوله Segala ucapan, perbuatan, dan keadaan atau perilaku Nabi Muhammad SAW. Definisi ini menyatakan bahwa yang termasuk dalam kategori Hadits adalah perkataan Nabi (qauliyah) perbuatan Nabi (fi’liyah), dan segala keadaan Nabi (ahwaliyah). Menurut Iman Ath-Thiby bahwa Hadits itu melengkapi sabda Nabi, perbuatan beliau dan taqrir beliau, melengkapi perkataan, perbuatan dan taqrir sahabat. Sebagaimana melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir Tabi’in. Maka sesuatu Hadits yang sampai kepada dinamai Marfu’ yang sampai kepada Sahabat dinamai Mauquf dan yang sampai kepada Tabi’in dinamai Maqthu.


As-Sunnah dan Al-Hadits Merupakan Kata Murodif.


Dalam hal ini ada dua pendapat diantaranya adalah:


a. Kebanyakan Ulama Hadits menganggap bahwa kata-kata As-Sunnah dan Al-Hadits itu merupakan kata-kata murodif/sinonim.


b. Ulama Ushul Fiqh dan Ulama Fiqh memandang dua perkataan tersebut berbeda artinya, antara lain:


1) Dr. Yusuf Musa dalam kitabnya berkata: فقه الكتاب والسنة


السّنّةُ ما صدر عن الرّسول من قولٍ أو فعلٍ أو تقريرٍ. والحديث ما صدر


عن قول الرّسول فقط.


“Sunnah ialah yang keluar dari Rasul, baik berupa perkataan, atau perbuatan ataupun taqrirnya. Sedangkan Hadits ialah apa yang keluar dari Rasul berupa perkataan saja”.


2) Ibnul Al-Kamal berkata:


السّنّة ما نقل عن النبيّ صلّى الله عليه وسلم فعلًا كان أو قولًا. والحديث


تختصّ بالقول فقط.


“Sunnah ialah sesuatu yang dinukil dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perbuatan ataupun sabdanya. Sedangkan Hadits ialah khusus sabdanya saja”.


3) Menurut Dr. Taufiq dalam kitabnya: دين الله فى كتب انبيائه menerangkan sebagai berikut:


“Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan/dipraktikkan oleh Nabi secara kontinyu dan di ikuti oleh para sahabatnya. Sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri”.


Model-model Penelitian Hadits.


Sebagaimana halnya Al-Qur’an, Al-Hadits pun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap Al-Hadits lebih banyak kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap Al-Qur’an. Hal ini antara lain dilihat dari segi datangnya Al-Qur’an dan Hadits berbeda. Kedatangan atau turunnya Al-Qur’an diyakini secara mutawatir berasal dari Allah. Berbeda dengan Al-Hadits dari segi datangnya Al-hadits tidak seluruhnya diyakini berasal dari Nabi, melainkan ada yang berasal dari selain Nabi. Hal ini disebabkan sifat dari lafal-lafal Hadits yang tidak bersifat mukjizat, juga disebabkan perhatian terhadap penulisan Hadits pada zaman Rasulullah agak kurang, bahkan beliau pernah melarangnya, dan juga karena sebab-sebab yang bersifat politis dan lainnya.


Keadaan inilah yang menyebabkan para ulama seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim mencurahkan segenap tenaga, pikiran dan waktunya bertahun-tahun untuk meneliti Hadits, dan hasil penelitiannya itu dibukukan dalam kitabnya “Sahih Bukhari dan Sahih Muslim”.


Peneliti Hadits berikutnya dapat diikuti pada uraian berikut ini:


1) Model H.M.Quraish Shihab.


Penelitian yang dilakukan Quraish Shihab terhadap Hadits jumlahnya tidak banyak jika dibandingkan dengan penelitian terhadap Al-Qur’an. Dalam bukunya berjudul Membumikan Al-Qur’an, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan Hadits, yaitu mengenai hubungan Hadits dan Al-Qur’an serta fungsi dan posisi Sunnah dalam Tafsir. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa Al-Qur’an menekankan Rasulullah berfungsi menjelaskan (Bayan) maksud firman-firman Allah. Bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan fungsi yang berhubungan dengan pembinaan hukum syara’.


2) Model Musthafa Al-Siba’iy.


Musthafa Al-Sba’iy yang dikenal sebagai tokoh intelektual muslim dari Mesir dan disebut-sebut sebagai pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin. Diantara bukunya yang berkenaan dengan Hadits adalah Al-Sunnah wa Makanatuba fi al-Tsyri’i al-Islami. Penelitian yang dilakukan Musthafa Al-Siba’iy dalam bukunya itu bercorak ekploratif dengan menggunakan pendekatan historis dan disajikan secara deskriptif analitis. Hasil penelitian yang dilakukan Musthafa Al-Siba’iy antara lain mengenai sejarah proses terjadi dan tersebarnya Hadits mulai dari Rasulullah sampai terjadinya upaya pemalsuan Hadits dan usaha para Ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencacatan Sunnah, dibukukannya Ilmu Musthalah Al-Hadits, Ilmu Jarh dan Al-Ta’dil, Kitab-kitab tentang Hadits palsu dan para pemalsu dan penyebarannya.


3) Model Muhammad Al-Ghazali


Muhammad Al-Ghazali yang menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadits dalam bukunya berjudul Al-Sunnah Al-Nabawiyah Baina Ahl-Fiqh wa Ahl-Hadits. Bahwa penelitian Hadits yang dilakukan Muhammad Al-Ghazali termasuk penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji dan menyelami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul di masyarakat untuk kemudian diberikan status hukumnya dengan berpijak pada konteks Hadits tersebut. Dengan kata lain, Muhammad Al-Ghazali terlebih dahulu memahami Hadits yang ditelitinya itu dengan melihat konteksnya kemudian baru dihubungkan dengan berbagai masalah aktual yang muncul di masyarakat. Corak penyajiannya masih bersifat deskritif analitis. Yakni mendeskripsikan hasil penelitian sedemikian rupa, dilanjutkan menganalisanya dengan menggunakan pendekatan fiqh, sehingga terkesan ada misi pembelaan dan pemurnian ajaran Islam dari berbagai paham yang dianggapnya tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang mutawatir.


4) Model Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim bin Al-Husain Al-Iraqiy


Ulama ini tergolong generasi pertama yang banyak melakukan penelitian Hadits. Bukunya berjudul Al-Taqyid wa al-Idlab Syarb Muqaddiman Ibn al-Shalab adalah termasuk kitab ilmu Hadits tertua yang banyak mengemukakan hasil penelitian dan banyak dijadikan rujukan oleh para peneliti dan penulis hadits berikutnya. Hasil penelitiannya bersifat penelitian awal, yaitu penelitian yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan untuk digunakan membangun suatu ilmu.


5) Model Penelitian Lainnya.


Model penelitian Hadits ini diarahkan pada fokus kajian aspek tertentu saja. Seperti Rif’at Fauzi Abd Al-Muthallib meneliti tentang perkembangan Al-Sunnah . Mahmud Abu Rayyah melalui telaah kritis atas sejumlah Hadits Nabi Muhammad SAW. Mahmud Al-Thahhan khusus meneliti cara menyeleksi Hadits serta penentuan sanad dan Ahmad Muhammad Syakir. Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian tersebut, maka kini ilmu Hadits tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman.


BAB III


PENUTUP


Kesimpulan


Berdasarkan uraian pembahasan studi Al-Sunnah di atas dapat di simpulkan hal-hal sebagai berikut:


² Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Selain sebagai sumber, Hadits juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Al-Qur’an.


² kalangan ahli agama di dalam memberikan pengertian Sunnah berbeda-beda, sebab para Ulama memandang Sunnah dari segi yang berbeda-beda pula.


² Menurut Iman Ath-Thiby bahwa Hadits itu melengkapi sabda Nabi, perbuatan beliau dan taqrir beliau, melengkapi perkataan, perbuatan dan taqrir sahabat.


² Kebanyakan Ulama Hadits menganggap bahwa kata-kata As-Sunnah dan Al-Hadits itu merupakan kata-kata murodif/sinonim. Sedangkan Ulama Ushul Fiqh dan Ulama Fiqh memandang dua perkataan tersebut berbeda artinya.


² penelitian terhadap Al-Hadits lebih banyak kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap Al-Qur’an. Hal ini antara lain dilihat dari segi datangnya Al-Qur’an dan Hadits berbeda.


Saran


1. Bahwa perbedaan Ulama dalam memberikan pengertian Al-Sunnah, karena beliau memandang Al-Sunnah dari berbagai aspek dan hukum-hukum syariat yang ada dalam Islam


2. Bagaimanapun juga penelitian Al-Hadits yang dilakukan oleh Ulama bertujuan untuk membedakan antara sabda Nabi Muhammad dengan perkataan para sahabat, dan tabi’in. Sehingga menghasilkan tingkatan-tingkatan hadits yang mutawatir.


Daftar Rujukan


Abuddin Nata., Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pres, 2014


Masjfuk Zuhdi., Pengantar Ilmu Hadits. Cetakan Ketiga, Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1985.


Supiana., Metodologi Studi Islam. Edisi II, UIN Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Kementerian Agama RI, 2012.


Share:

Popular Posts

Label